Tuesday, April 22, 2025

Mengapa Deflasi Bisa Lebih Menakutkan dari Inflasi?

Bayangkan sebuah dunia di mana harga-harga terus turun, tetapi justru bukan membawa kegembiraan, melainkan kecemasan yang mendalam. Orang-orang menunda belanja, bisnis-bisnis tutup satu per satu, dan roda ekonomi melambat hingga hampir berhenti. Inilah wajah gelap deflasi—ancaman sunyi yang sering tersembunyi di balik ketakutan akan inflasi. Sementara inflasi mencuri uang dari dompet Anda secara perlahan, deflasi merampas nyali dari pasar, melemahkan semangat konsumsi, dan menyulut krisis ekonomi yang jauh lebih sulit dipulihkan. Mengapa deflasi bisa lebih menakutkan dari inflasi? Artikel ini akan mengupasnya tuntas.

Dalam percakapan sehari-hari, inflasi lebih sering menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama saat harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli masyarakat menurun. Namun, di balik bayang-bayang inflasi, terdapat ancaman ekonomi yang tidak kalah serius, bahkan bisa jauh lebih menakutkan—deflasi. Deflasi adalah kondisi ketika harga-harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan yang berkepanjangan. 

Berdasarkan teori secara umum, Deflasi adalah kondisi ekonomi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan. Kondisi ini bisa memberikan dampak negatif pada perekonomian, seperti penurunan produksi, peningkatan pengangguran, dan perlambatan ekonomi. Walaupun harga barang menjadi lebih murah, deflasi juga bisa membuat masyarakat dan perusahaan menunda pembelian karena berharap harga akan terus turun, yang pada akhirnya mengurangi permintaan dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. 

Sekilas, hal ini mungkin terdengar sebagai kabar baik bagi konsumen. Harga murah seolah menjadi keuntungan tersendiri, tetapi kenyataan ekonominya justru sebaliknya: deflasi bisa menjadi gejala dari sistem ekonomi yang sedang sakit dan kehilangan daya geraknya.

Salah satu alasan mengapa deflasi begitu berbahaya adalah karena ia menciptakan siklus penurunan yang sulit dipatahkan. Ketika harga-harga turun, konsumen dan pelaku bisnis cenderung menunda pembelian dan investasi dengan harapan harga akan terus lebih murah di masa mendatang. Akibatnya, permintaan pun lesu, produksi melambat, dan perusahaan mulai mengurangi tenaga kerja untuk menekan biaya. Ini mengakibatkan peningkatan pengangguran dan penurunan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya membuat daya beli semakin lemah. Siklus ini bisa berlangsung terus-menerus, menciptakan spiral deflasi yang menyeret ekonomi ke dalam stagnasi bahkan depresi.

Berbeda dengan inflasi, yang masih bisa dikendalikan dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga atau menahan pasokan uang, deflasi jauh lebih rumit diatasi karena menuntut stimulus yang agresif dalam kondisi kepercayaan pasar yang rendah. 

Berdasarkan teori secara umum, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas pada barang lainnya.

Bank sentral bisa menurunkan suku bunga bahkan hingga nol, tetapi jika masyarakat tetap tidak mau membelanjakan uangnya dan pelaku bisnis enggan berinvestasi, maka semua dorongan kebijakan tersebut bisa tidak efektif. Situasi ini dikenal sebagai “liquidity trap,” di mana uang beredar di pasar, tetapi tidak mengalir ke sektor produktif.

Contoh nyata dari bahaya deflasi bisa dilihat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang selama beberapa dekade terakhir, yang dikenal sebagai "The Lost Decades." Jepang mengalami tekanan deflasi berkepanjangan sejak awal 1990-an akibat gelembung properti dan saham yang pecah. Meskipun Jepang adalah negara maju dengan infrastruktur yang sangat baik, pertumbuhan ekonominya stagnan selama bertahun-tahun karena konsumsi yang lemah dan investasi yang terhambat.

Di tengah tantangan global saat ini, kekhawatiran terhadap deflasi kembali mencuat, terutama saat krisis finansial atau resesi berkepanjangan menggerus aktivitas ekonomi. Pandemi, disrupsi rantai pasok, dan ketidakpastian geopolitik juga menjadi pemicu turunnya permintaan global yang dapat memicu tekanan deflasi di banyak negara. Dalam konteks ini, penting bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada pengendalian inflasi, tetapi juga waspada terhadap risiko deflasi yang bisa datang diam-diam namun berdampak destruktif.

Deflasi, meskipun terlihat menguntungkan karena harga barang turun, memiliki bahaya jangka panjang yang signifikan, seperti penurunan pendapatan, meningkatnya pengangguran, dan potensi resesi ekonomi. Konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga lebih murah di masa depan, mengurangi permintaan dan produksi, serta menyebabkan kerugian bagi bisnis. 

Pada masa deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan bahwa harga-harga barang dan jasa akan terus turun dan menjadi semakin murah. Jika deflasi terus menerus terjadi dalam waktu yang lama, maka produsen tidak dapat menjual produknya, sehingga kondisi keuangannya akan memburuk.

Penyebab deflasi bermacam-macam, bisa karena faktor supply yang melimpah, yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan dalam perekonomian seperti deregulasi. Deflasi juga bisa terjadi karena penurunan harga komoditas utama seperti harga minyak, dan bisa pula karena kelebihan kapasitas produksi (atau supply).

Bila terjadinya deflasi terkait dengan empat faktor pertama, biasanya itu tidak berbahaya.

Namun, jika deflasi terjadi ketika konsumen mengurangi pengeluarannya karena mereka  memperkirakan harga akan terus turun atau seiring berjalan waktu menjadi lebih khawatir akan keamanan prospek perekonomian ke depan, terutama bila angka pengangguran terus meningkat.

Begitu juga ketika terjadi kelebihan investasi begitu besar, kala gelembung harga aset pecah, atau saat ketersediaan kredit terbatas, permintaan mungkin akan tetap lemah dalam jangka waktu lama.

Jika deflasi terjadi terus menerus dalam waktu yang cukup lama, maka produsen terpaksa menurunkan harga produknya supaya tetap menarik bagi konsumen. Pada kondisi yang ekstrim, produsen harus melakukan PHK atas sebagian karyawannya untuk bisa tetap beroperasi, atau bahkan menutup usahanya.

Singkatnya, deflasi bukan sekadar penurunan harga. Ia adalah sinyal adanya ketidakseimbangan dalam ekonomi, hilangnya keyakinan dalam konsumsi dan investasi, serta gejala bahwa roda ekonomi tengah kehilangan momentum. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa lebih merusak daripada inflasi, karena bukan hanya harga yang turun, tetapi juga semangat berusaha dan harapan akan pertumbuhan yang menguap. Oleh karena itu, memahami deflasi dan mengantisipasinya menjadi krusial bagi kestabilan ekonomi jangka panjang.


Sumber :

https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/50515/bahaya-deflasi-berkaca-krisis-as-jepang-buntut-deflasi-panjang/2

https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Inflasi_Atau_Deflasi__Mana_yang_Lebih_Berbahaya_dalam_Perencanaan_Pensiun&news_id=188660&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman=1

No comments:

Post a Comment

Related Posts