Friday, January 29, 2021

Saham Top Gainers di 2020

Saham-saham ini jadi top gainers di 2020, bagaimana rekomendasi sahamnya?

Minggu, 03 Januari 2021 / 21:34 WIB
 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) parkir di zona merah atau melemah 0,95% ke level 5.979,07 pada perdagangan terakhir tahun 2020, Rabu (30/12). Secara year to date, IHSG terkoreksi sebesar 5,09%.

Berdasarkan RTI, pada perdagangan Rabu (30/12), tercatat 143 saham naik, 365 saham terkoreksi, dan 119 saham diam di tempat. Adapun volume perdagangan tercatat 24,71 miliar dengan nilai transaksi Rp 14,51 triliun.

Sejumlah saham mencetak kenaikan harga tertinggi pada tahun lalu adalah PT BRI Syariah Tbk (BRIS) yang melesat 581,82% ke harga Rp 2.250 per saham, disusul saham PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO) yang meroket 422,73% menuju harga Rp 1.035 per saham, PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) meroket 240% ke harga Rp 4.250 per saham, PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) naik 171,96% ke harga Rp 575 per saham.


Kemudian, PT Semen Baturaja (Persero) Tbk (SMBR) menguat 142,05% menuju harga Rp 1.065 per saham dalam setahun, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) merangkak 130,36% ke harga Rp 1.935 per saham.

Lalu, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) menguat 127,10% ke harga Rp 2.430 per saham, PT Buana Lintas Lautan Tbk (BULL) melesat 116,05% ke harga Rp 350 per saham, PT Timah Tbk (TINS) naik 80% ke harga Rp 1.485 per saham, dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menguat 40,79% ke harga Rp 428 per saham.

Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta mengatakan, saham-saham tersebut menguat seiring dengan adanya aksi korporasi yang dilakukan oleh emiten. Pertama, saham BRIS yang mulai meroket setelah ada rencana merger dengan bank-bank syariah.

“Harga ANTM dan TINS menguat salah satunya karena kabar holding Indonesia Battery,” ujarnya ketika dihubungi Kontan, Minggu (3/1).

Selain itu, kenaikan harga emas di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi saat Covid-19 turut mendorong harga saham ANTM dan MDKA. Sementara itu, masuknya KB Kookmin Bank sebagai pemegang saham pengendali BBKP dinilai menjadi sentimen positif untuk pergerakan harga saham BBKP.

Menurut Nafan, masuknya Kookmin ke Bukopin memberikan optimisme yang tinggi bagi pelaku usaha Korea Selatan di Indonesia. Dalam catatan Kontan, saat ini terdapat sekitar 2.000 perusahaan besar, kecil, dan menengah asal Korea Selatan seperti Samsung, Hyundai Motor, LG dan lain-lain. Dari jumlah tersebut, sekitar 190 perusahaan merupakan nasabah Kookmin di Korea Selatan.

Nafan melanjutkan, saham-saham top gainers ini juga memiliki fundamental yang cukup bagus. Misalnya saja, PT Kimia Farma Tbk yang mencetak pertumbuhan penjualan di tengah pandemi Covid-19.

Emiten farmasi plat merah ini mencatat kenaikan penjualan sejak Januari hingga September 2020 hingga 2,47% year on year (yoy) menjadi sebesar Rp 7,05 triliun. Jumlah tersebut naik dari periode yang sama tahun 2019 yang tercatat Rp 6,88 triliun.

Ia juga menilai, ANTM dan INCO memiliki fundamental yang cukup kuat, kenaikan harga nikel berdampak signifikan bagi produsen nikel ke depannya.

Sebagai informasi, per kuartal ketiga 2020, ANTM membukukan laba bersih senilai Rp 835,78 miliar atau naik 30,28% secara tahunan. Secara kuartalan, laba bersih ANTM naik hingga 105% dibanding kuartal sebelumnya.

Dari sisi penjualan, emiten pertambangan pelat merah ini membukukan pendapatan senilai Rp 18,03 triliun atau menurun 26% secara tahunan. Hanya saja, secara kuartalan, penjualan Aneka Tambang melesat hingga 119% dari Rp 4,02 triliun di kuartal kedua 2020 menjadi Rp 8,81 triliun.

Sedangkan INCO mencatat pertumbuhan laba bersih hingga 47.800% secara tahunan menjadi US$ 76,64 juta di kuartal III 2020, dari hanya US$ 160.000 pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Di saat yang bersamaan, pendapatan Vale Indonesia naik 12,7% secara tahunan, dari US$ 506,46 juta menjadi US$ 571,02 juta pada sembilan bulan 2020. Secara keseluruhan, Nafan memandang saham-saham tersebut masih memiliki prospek yang cukup baik tahun ini.

Ia memberikan rekomendasi maintain buy ANTM dengan target harga Rp 2.240 atau Rp 2.250. Serta rekomendasi maintain buy saham KRAS dengan target harga Rp 474, target selanjutnya Rp 498, Rp 515, dan Rp 515.

Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada menyarankan pelaku pasar untuk tetap berhati-hati pada saham-saham yang mengalami kenaikan tertinggi di 2020. Reza mengungkapkan sejumlah kabar berita mengenai emiten terkait turut mengungkit harga sahamnya.

“Jadi, pelaku pasar memanfaatkan momen tersebut untuk masuk ke saham-saham tersebut. Apalagi, kalau saham-sahamnya masih dinilai rendah oleh pelaku pasar dan adanya anggapan akan meningkatnya kinerjanya karena pemberitaan itu,” tambahnya.

Dilihat dari laporan keuangan hingga kuartal III tahun lalu, Reza melihat BRIS, BBKP, dan KRAS mempunyai fundamental yang cukup baik karena masih mencatatkan laba. Hanya saja Reza belum dapat memberikan rekomendasi untuk saham-saham ini.


Sumber :
https://investasi.kontan.co.id/news/saham-saham-ini-jadi-top-gainers-di-2020-bagaimana-rekomendasi-sahamnya?page=2

Tuesday, January 26, 2021

Idx GJTL


1. Lo Kheng Hong Koleksi GJTL, Apa Benar Masih Murah & Menarik?

Jagat pasar modal domestik kembali dibuat gempar pada perdagangan Jumat (8/1/21). Pasalnya nama investor kawakan Lo Kheng Hong muncul sebagai pemegang saham PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) yang dikendalikan oleh keluarga pengusaha Sjamsul Nursalim.

Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Lo Kheng Hong menggenggam 176,48 juta saham atau setara dengan 5,06% kepemilikan. Data ini muncul pada laporan KSEI pada Kamis (7/1/2020).

Investor yang dikenal dengan julukan Warren Buffet-nya Indonesia ini juga sudah mengkonfirmasi kepemilikanya di saham GJTL kepada CNBC Indonesia.

"PT Gajah Tunggal adalah pabrik ban terbesar di Asia Tenggara, dengan penjualan Rp 9,6 triliun selama 9 bulan 2020. Nilai buku per saham Rp 1.782. Ketika pandemi harga sahamnya turun ke Rp 300-an, jadi Saya membelinya. Murah," ujar Lo kepada CNBC Indonesia, Jumat (8/1/2021).

Bahkan sebelumnya, Kheng Hong memang berkali-kali menyebut harga saham GJTL salah harga, yang mencerminkan harganya yang tergolong murah.

"Kalau tidak salah harga, saya tidak disini. Kalau Rp 3.000 saya tidak datang, tapi karena GJTL saat ini Rp 600," kata LKH usai menghadiri paparan publik GJTL di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (12/12/2017), seperti dikutip dari lembaga riset reksa dana, Pasardana

Lo Kheng Hong sendiri memang terkenal sebagai value investor atau investor berbasis nilai dimana pria yang akrab disapa LKH ini senang mencari saham-saham yang salah harga, kondisi dimana nilai pasar saham jauh lebih murah dari nilai intrinsik saham tersebut.

Sontak saja setelah kabar ini tersebar, pasar langsung merespons. Tercatat pada penutupan perdagangan Jumat (8/1/21) harga saham GJTL ditutup terbang tinggi 25% ke level harga Rp 825/unit menyentuh level tertingginya alias terkena auto reject atas (ARA).

Volume transaksi saham GJTL juga melesat kencang yang menunjukkan antusias para investor untuk bertransaksi di saham produsen ban ini.

Data BEI mencatat, volume transaksi GJTL naik dari posisi hari sebelumnya di angka 77.441 lot saham menjadi 1,32 juta lot saham senilai Rp 103,82 miliar.

Antrean pembelian GJTL di harga ARA (batas atas auto reject) mencapai 1,26 juta lot atau senilai Rp 104,30 miliar yang menunjukkan antusiasme para pelaku pasar untuk membeli saham GJTL, sehingga saham ini berpotensi besar melanjutkan apresiasinya pada perdagangan hari ini.

Gajah Tunggal merupakan perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur ban, baik untuk kendaraan pribadi seperti mobil, kendaraan komersial seperti bus atau truk, maupun ban motor.

Situs resminya mencatat, produk ban keluaran perseroan salah satunya adalah merek GT Radial untuk ban mobil dan IRC untuk ban motor.

Pabrik GJTL berlokasi di dalam negeri yakni di kawasan industri Gajah Tunggal di Tangerang serta pabrik lain yang berlokasi di Serang

Masuknya investor kawakan Kheng Hong tentu saja membuat para pelaku pasar bertanya-tanya apakah benar saham GJTL memang masih tergolong murah dan salah harga?

Bagaimana kondisi fundamental perusahaan dan prospek usaha GJTL?

Apakah kondisi industri manufaktur ban yang menjadi mesin utama pendapatan GJTL akan cerah di tahun 2021?


2. Produsen Ban Terbesar di Asia Tenggara

Akibat merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air dan penerapan PSBB di berbagai wilayah, kinerja keuangan produsen ban mobil merek GT Radial ini ikut terdampak. Hal tersebut tercermin dari penurunan penjualan bersih yang mencapai 19,4% (yoy).

Pada periode 9 bulan tahun 2020 total penjualan GJTL tercatat mencapai Rp 9,62 triliun turun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp 11,94 triliun.

Meskipun turun, perseroan berhasil menjadi perusahaan manufaktur ban publik dengan penjualan terbesar di Asia Tenggara, jauh melampaui posisi PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) di posisi kedua dan Southern Rubber Industry JSC asal Vietnam di posisi ketiga.

Kedua perusahaan tersebut hanya mampu membukukan penjualan masing-masing Rp 2,77 triliun dan Rp 2,12 triliun dimana angka tersebut tentunya terlihat kerdil dibandingkan dengan penjualan GJTL di angka Rp 9,62 triliun.

Perseroan memang sudah terkenal sebagai 'Raja Ban' Asia Tenggara. Hal ini terlihat dari total penjualan GJTL yang mendominasi di kawasan ASEAN dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan publik lain yang bergerak di bidang yang sama.

Tercatat di tahun 2019 penjualan GJTL mencapai Rp 15,93 triliun. Angka ini berhasil menempatkan GJTL pada posisi pertama di antara produsen-produsen ban publik di Asia Tenggara lain. Bahkan angka tersebut berhasil mendominasi dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan ban lain.

Meskipun penjualan terpaksa turun pada tahun 2020, pandemi nCov-19 ternyata mendatangkan keuntungan tersendiri bagi GJTL paling tidak dari sisi produksi karena beban biaya yang ditanggung oleh perusahaan juga mengalami penurunan yang cukup besar.

Beban pokok penjualan (HPP/COGS) perusahaan turun 21,4% (yoy) pada periode Januari-September 2020 dibanding tahun 2019. Di saat yang sama beban penjualan juga mengalami penurunan sebesar 28,6% (yoy).

Penurunan beban biaya emiten ban motor IRC dan Zeneos tersebut turun diakibatkan oleh rendahnya harga material untuk produksi dan penurunan tingkat utilisasi pabrik.

Kendati penurunan beban biaya jauh melebihi penurunan penjualan, GJTL harus membukukan rugi bersih senilai Rp 104 miliar hingga kuartal ketiga tahun lalu. Padahal GJTL mampu mencetak laba bersih hampir Rp 140 miliar tahun sebelumnya.

Meskipun demikian, anjloknya laba GJTL lebih dipicu oleh kondisi eksternal yakni depresiasi rupiah yang tajam tahun lalu dan bukan kondisi internal perusahaan. Berdasarkan laporan keuangan perusahaan yang tidak diaudit September 2020, kerugian selisih kurs tercatat mencapai Rp 304 miliar.


3. Likuiditas Perusahaan Masih Terjaga di Tengah Pandemi

GJTL memang memiliki eksposur terhadap risiko depresiasi nilai tukar tinggi mengingat porsi kewajiban perusahaan seperti utang obligasi, fasilitas kredit perbankan hingga utang usaha kepada para pemasok dalam mata uang asing yang juga tinggi.

GJTL tercatat memiliki total aset dalam mata uang asing mencapai Rp 3,12 triliun. Sementara itu total kewajiban dalam mata uang asingnya tercatat Rp 6,55 triliun. Artinya GJTL mencatat kewajiban bersih (net liabilities) dalam mata uang asing mencapai Rp 3,43 triliun.

Saat pandemi Covid-19 menghantam kinerja keuangan dunia usaha Tanah Air, banyak perusahaan yang mengalami masalah likuiditas. Namun tidak dengan GJTL. Perusahaan masih memiliki kas dengan setara kas senilai Rp 699 miliar dan jika ditambah dengan aset keuangan lancar lainnya senilai Rp 289,6 miliar maka dana segarnya hampir Rp 1 triliun.

Nilai working capital (aset lancar-kewajiban lancar) yang masih positif Rp 2,74 triliun mengindikasikan bahwa perusahaan mampu melunasi kewajiban jangka pendeknya. Hal ini juga diperkuat dengan rasio likuiditas lain seperti current ratio dan quick ratio yang masih lebih tinggi dari rule of thumb di angka 1.


4. Ditopang oleh Valuasi yang Sangat Murah4 dari 4 Halaman

Untuk melihat apakah valuasi GJTL masih tergolong 'salah harga' alias murah maka perlu diperhatikan beberapa metrik valuasi yang umum digunakan. Salah satunya adalah dengan menggunakan indikator nilai buku (book value).

Nilai buku GJTL menggunakan laporan keuangan periode September 2020 adalah sebesar Rp 1.783/unit. Kendati saham GJTL melesat dan menyentuh level auto reject atas (ARA) pada perdagangan akhir pekan lalu ke Rp 825/unit, sejatinya harga pasarnya masih jauh di bawah nilai buku riilnya.

Saham GJTL saat ini ditransaksikan di 0,46 kali nilai bukunya (price to book value/PBV) yang tentu saja masih sangat murah apabila dibandingkan dengan rata-rata PBV industri produsen ban global yang berada di angka 2,25 kali.

Bahkan apabila menggunakan nilai intrinsik saham GJTL yang biasanya tentunya lebih besar daripada nilai bukunya, para pelaku pasar akan mendapatkan angka yang lebih menakjubkan.

Tercatat nilai intrinsik saham GJTL menggunakan metode permodelan Refinitiv StarMine Projection Model berada di angka Rp 2.301,24/unit. Bagi seorang value investor yang tertarik untuk mengkoleksi saham GJTL masih memiliki margin of safety (MOS) yang besar yaitu 64,15%.

Hal ini menunjukkan saham GJTL berpotensi mencatatkan keuntungan bagi para investor mencapai 278,93% apabila harga pasar GJTL kembali ke level nilai intrinsiknya di angka Rp 2.301.24/unit.

Namun menggunakan valuasi berdasarkan nilai buku saja tentunya tidak cukup mengingat perusahaan bergerak di sektor manufaktur yang cenderung capital intensive maka butuh metrik valuasi lain seperti dengan membandingkan harga pasar dengan laba perusahaan (price to earning/PER), harga pasar terhadap penjualan (price to sales/PS), harga pasar dengan arus kas (price to cash flow/PCF) hingga nilai perusahaan terhadap pendapatan masih kotornya (EV/EBITDA).

Metrik tersebut (valuation multiples) juga harus dibandingkan dengan perusahaan kompetitor di industri yang sejenis.

Kompetitor GJTL yang juga merupakan perusahaan publik adalah PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) yang juga menjual ban mobil dengan merek Achilles dan ban motor Corsa yang menjadi pesaing utama GJTL dan menduduki posisi produsen ban terbesar kedua di Asia Tenggara.

Menggunakan metode valuasi yang lebih sensitif dan membandingkannya dengan kompetitor, maka diperoleh kesimpulan bahwa valuasi GJTL memang tergolong murah relatif terhadap MASA karena angka metriknya yang jauh lebih rendah untuk semua indikator.


Outlook Industri

Kendati pandemi Covid-19 belum bisa dikontrol sampai saat ini, bahkan pemerintah memutuskan untuk menerapkan PSBB ketat di Jawa Bali, dimulainya program vaksinasi Covid-19 di dalam negeri menjadi harapan bangkitnya perekonomian Indonesia.

Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan PDB Indonesia tahun ini berada di angka 4,4%. Lembaga keuangan global lain yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan lebih bullish karena meramal ekonomi RI tumbuh 4,8%.

Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) yang diikuti dengan penurunan suku bunga kredit diharapkan mampu mendongkrak permintaan kredit.

Penurunan suku bunga kredit tentu positif untuk sektor yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga seperti properti hingga otomotif (motor dan mobil) mengingat pembelian rumah dan barang tahan lama tersebut banyak mengandalkan kredit.

Peningkatan permintaan mobil dan motor juga positif untuk sektor manufaktur yang menopangnya seperti industri spare-part dan industri ban yang menjadi industri utama GJTL.

Selain itu industri otomotif yang merupakan industri siklikal dengan pent-up demand yang tergolong tinggi, dimana industri ini lebih diuntungkan dengan pemulihan ekonomi pasca terserang pandemi Covid-19. Hal ini tentu saja menguntungkan GJTL yang beroperasi di industri turunan otomotif.

Outlook nilai tukar rupiah juga positif. Adanya kemungkinan inflow dana asing yang masif akan mengangkat kinerja rupiah dan menurunkan volatilitasnya. Penurunan volatilitas rupiah merupakan hal yang baik bagi GJTL melihat eksposur terhadap valuta asing tergolong tinggi.

Bahkan terpilihnya Joe Biden, kandidat dari Partai Demokrat di Pemilihan Presiden Amerika Serikat juga membawa berkah tersendiri bagi GJTL. Hal ini mengingat secara historis pemimpin dari Partai Demokrat doyan menggelontorkan stimulus fiskal dengan nilai yang fantastis.

Dengan cairnya stimulus fiskal maka nilai mata uang Dolar AS berpotensi melemah karena jumlah dolar beredar yang meningkat sehingga tentunya hal ini akan menguntungkan GJTL yang tercatat membukukan penjualan ekspor bersih mencapai Rp 3,84 triliun atau setara dengan 39,95% total penjualan bersih GJTL.

Apalagi mengingat dari total ekspor bersih tersebut mayoritas diekspor ke Benua Amerika yakni senilai Rp 2,68 triliun sehingga tentunya dengan melemahnya nilai Greenback akan menguntungkan perusahaan secara langsung apalagi mengingat komponen produksi GJTL mayoritas merupakan produk lokal.

Selain itu sebagian besar hutang perusahaan juga tercatat dalam mata uang dolar yakni senilai Rp 556,62 miliar atau sebesar 39,46% dari total hutang perusahaan. Dengan melemahnya nilai Greenback maka perseroan akan lebih mudah untuk melunasi atau membayar bunga kewajibanya yang tercatat dalam mata uang Paman Sam.

Di sisi lain perusahaan juga berupaya untuk melakukan lindung nilai (hedging) dari fluktuasi nilai tukar dengan membeli produk keuangan derivatif berupa call spread option dengan tujuan untuk mengelola resiko nilai tukar mata uang terhadap Senior Secure Facilities perusahaan yang bernilai Rp 1,83 triliun.

Overall, outlook perekonomian dan industri yang positif di tahun 2021 diharapkan mampu mendongkrak kinerja keuangan GJTL sebagai market leader industri ban, baik di Tanah Air maupun di Asia Tenggara.


Sumber :

https://www.cnbcindonesia.com/market/20210111073830-17-214893/lo-kheng-hong-koleksi-gjtl-apa-benar-masih-murah-menarik/4

Idx Cleo

Menerawang Prospek Saham Sariguna Primatirta (CLEO)

Rabu, 26 Juni 2019 | 22:55 WIB

Prospek PT Sariguna Primatirta Tbk (CLEO) kian segar. Analis memperkirakan, performa keuangan emiten yang memproduksi air minum dalam kemasan (AMDK) ini berpeluang semakin moncer ke depan.

Sepanjang tiga bulan pertama 2019, CLEO berhasil membukukan pertumbuhan pendapatan sekitar 37% dari Rp 162,59 miliar pada kuartal I-2018 menjadi Rp 223,54 miliar. Capaian tersebut, berada di atas pertumbuhan rata-rata industri AMDK yang hanya 4%.

Belum berhenti di situ, Pada periode sama, laba bersih perusahaan ini juga melompat 101% menjadi Rp 25,29 miliar.

Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan, dari sisi pendapatan, performa CLEO tak lepas dari karakter bisnis perusahaan, di sektor barang konsumen. Pada saat yang bersamaan, data consumer price index (CPI) juga mengalami kenaikan. Begitu juga dengan data inflasi.

"Hal itu mencerminkan daya beli masyarakat cenderung meningkat," ujar Sukarno, Selasa (25/6).

Setali tiga uang, analis MNC Sekuritas Victoria Venny NS. menjelaskan, tak menutup kemungkinan ada sentimen negatif di semester II. Akan tetapi, berbagai program bantuan dari pemerintah untuk masyarakat menjadi faktor kuat yang mendorong pertumbuhan sektor konsumsi masih positif di tahun ini.

Data makro ekonomi yang memberi sinyal adanya peningkatan daya beli masyarakat memang mempengaruhi fundamental CLEO. Di sisi lain, CLEO juga mampu mengoptimalkan peluang itu dari sisi internal.

Analis Senior Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih mengatakan, terdapat penurunan utang yang cukup besar di keuangan CLEO sepanjang tahun lalu. Alhasil, terjadi penurunan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan air minum tersebut di tahun ini.

Hal itu yang membuat sisi laba CLEO kuartal pertama tahun ini moncer. "EBITDA juga terus meningkat," terang Alfatih.

Alfatih menambahkan, melihat sejumlah data makro, sektor konsumer yang juga merupakan sektor bisnis CLEO tahun ini bakal prospektif. Kalau pun tidak meningkat, minimal pergerakan bisnis di sektor ini stabil.

William Hartanto, analis Panin Sekuritas memiliki pandangan senada. Menurutnya, tren industri AMDK memang saat ini cenderung stagnan. Namun, pada saat yang bersamaan, pemain di industi ini tidak akan pernah kehabisan pangsa pasar.

"Sehingga, yang menjadikan industri tersebut kompetitif dilihat dari kualitas dan harga jual produk itu sendiri," jelas William.

Berbicara soal saham, Rabu (26/6) kemarin, CLEO ditutup menguat 2 poin ke level Rp 388 per saham. Sejak awal tahun, saham ini telah mengakumulasi kenaikan hampir 37%.

Menurut Alfatih, secara teknikal saham CLEO berada dalam tren naik dan masih berada di atas moving average (MA) 20 serta indikator stochastic yang berada di atas 50. Untuk itu, dia merekomendasikan buy untuk saham CLEO dengan target harga Rp 420 per saham dan berhenti saat menyentuh level Rp 376 per saham.

Tak jauh berbeda, Analis Panin Sekuritas William Hartanto juga merekomendasikan beli untuk saham CLEO, dengan target harga akhir tahun Rp 565 per saham. Menurutnya, harga saham emiten ini masih berpotensi untuk melanjutkan penguatan.

Sementara, Sukarno menyarankan untuk berhati-hati. Pasalnya, saham CLEO sudah memasuki area jenuh beli (overbought).

"Harga sudah mulai berada di area overbought. Investor yang mau masuk kembali harus waspada. Dari sisi teknikal, harga berpotensi melemah," jelasnya.

Dia mengungkapkan, jika harga terus turun dan menembus level support yakni Rp 378 per saham, maka ke depannya memungkinkan untuk lanjut turun ke level Rp 350 per saham. Hingga akhir tahun, saham CLEO berpotensi bergerak ke level Rp 410 per saham.


Sumber :

https://insight.kontan.co.id/news/menerawang-prospek-saham-sariguna-primatirta-cleo

Related Posts