Penerapan Reciprocal Tariff (Tarif Timbal Balik) oleh Amerika Serikat yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump pada awal April 2025 kembali mengguncang dinamika perdagangan internasional. Dengan kebijakan ini, AS menetapkan tarif dasar 10% untuk seluruh impor dan tambahan tarif khusus terhadap negara-negara tertentu, termasuk Indonesia yang dikenakan tarif sebesar 32%. Langkah ini tidak hanya menimbulkan ketegangan diplomatik, tetapi juga memicu kekhawatiran mengenai kemungkinan pecahnya perang dagang global yang lebih luas, dan bahkan berpotensi mengarah pada krisis ekonomi baru.
Awal Mula Perang Dagang
Perang dagang biasanya bermula dari kebijakan proteksionis yang diambil oleh satu negara besar—dalam hal ini Amerika Serikat—yang kemudian memicu negara-negara mitra dagangnya untuk membalas dengan kebijakan serupa. Dalam sejarah modern, kita sudah menyaksikan dampak dari perang dagang antara AS dan Tiongkok beberapa tahun lalu yang menghambat pertumbuhan ekonomi global, mengacaukan rantai pasok, dan menciptakan ketidakpastian di pasar keuangan.
Kebijakan tarif baru ini dikhawatirkan akan menciptakan skenario serupa, terutama jika negara-negara yang terdampak memilih untuk membalas dengan memberlakukan tarif terhadap produk AS. Jika hal ini terjadi secara masif dan berlarut-larut, maka efek domino terhadap sistem perdagangan internasional sangat mungkin terjadi.
Dampak Potensial terhadap Ekonomi Global
-
Gangguan Rantai Pasok Internasional
Dalam era globalisasi, sebagian besar produk tidak dibuat secara utuh dalam satu negara. Rantai produksi kini tersebar lintas batas negara. Kenaikan tarif akan membuat biaya produksi meningkat, yang kemudian menaikkan harga barang bagi konsumen, memperlambat produksi, dan mengganggu aliran barang di seluruh dunia. -
Peningkatan Inflasi Global
Tarif impor biasanya dibebankan kepada konsumen akhir dalam bentuk harga yang lebih tinggi. Jika tarif diterapkan secara luas dan timbal balik, harga-harga barang impor akan naik secara signifikan di banyak negara. Hal ini berisiko mendorong inflasi di berbagai belahan dunia. -
Penurunan Investasi dan Ketidakpastian Pasar
Perang dagang meningkatkan ketidakpastian di pasar global. Ketika perusahaan tidak bisa memprediksi kondisi perdagangan, mereka cenderung menahan investasi, menunda ekspansi bisnis, atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Ketidakpastian ini juga berdampak pada pasar saham yang cenderung bereaksi negatif terhadap ketegangan geopolitik dan proteksionisme. -
Krisis Kepercayaan Antar Negara
Kebijakan tarif timbal balik merusak kepercayaan antar negara dalam sistem perdagangan internasional yang selama ini dijalankan berdasarkan prinsip multilateral dan kerja sama terbuka. Jika kepercayaan ini runtuh, sistem global bisa bergeser ke arah yang lebih tertutup dan nasionalistik.
Apakah Ini Bisa Menyebabkan Krisis Ekonomi?
Krisis ekonomi global biasanya terjadi akibat kombinasi faktor: pelemahan sektor riil, gejolak sektor keuangan, dan ketidakpastian kebijakan yang berkepanjangan. Jika perang dagang yang dipicu oleh tarif AS terus meningkat dan memicu tindakan balasan dari berbagai negara, maka risiko krisis akan semakin tinggi.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia bisa menjadi korban paling rentan karena ketergantungan terhadap ekspor, investasi asing, dan kestabilan nilai tukar. Penurunan permintaan ekspor akibat tarif tinggi, ditambah keluarnya investasi asing karena ketidakpastian global, bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Tarif timbal balik Trump akan membuat pelemahan nilai tukar rupiah, diprediksi dalam jangka dekat, kurs rupiah akan melewati Rp 17.000 terhadap dollar Amerika.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (atau PHK) hingga melonjaknya tingkat kemiskinan adalah beberapa ancaman yang disebut ekonom berpotensi menghantam Indonesia, akibat pengenaan tarif resiprokal atau timbal balik Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Meningkatnya pengangguran akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia, yang menciptakan situasi berbahaya pada sisi sosial, politik dan keamanan.
Namun di balik ancaman itu, ekonom menyebut terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan, yakni meniru siasat Vietnam, yang menjadi pemenang perang dagang jilid pertama Trump, antara Amerika Serikat dan China pada 2019 lalu.
Di tengah beragam potensi ancaman itu, ternyata ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia.
Target utama dari tarif impor AS itu sebenarnya adalah China sebesar 34%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Kamboja 49%, Bangladesh 37%, dan Sri Lanka 44%.
Artinya, Indonesia bukan sasaran utama, tapi yang disasar adalah negara-negara kompetitor kita. Jadi kalau Indonesia jeli untuk melihat peluang ini, bisa mengambil pasar yang mereka justru kalah di situ. Tapi tentu saja itu bukan sesuatu yang given, tapi harus diusahakan dengan strategi-strategi yang tepat.
Pada 2019, Trump melakukan kebijakan sama, yang menciptakan perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Di balik perang itu, ada satu negara yang berhasil mengambil manfaat, yaitu Vietnam.
Vietnam secara cerdik mensubtitusi produk China di Amerika Serikat dan memudahkan investasi asing masuk ke negaranya.
Vietnam memiliki kemiripan produk ekspor yang cukup tinggi dengan China sehingga dia mampu mengantikan ruang kosong yang ditinggalkan China di Amerika Serikat.
Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penyedia bahan baku teknologi ramah lingkungan sekaligus menciptakan ekonomi yang inklusif.
Pemerintah Indonesia harus berlomba untuk memikat investor asing guna membangun pabrik mereka di dalam negeri. Hal ini dikarenakan para investor berpotensi memindahkan pabrik mereka dari negara yang terkena tarif resiprokal besar Amerika Serikat.
Selain memperbaiki kondisi dalam negeri, pemerintah perlu mencari alternatif negara ekspor, seperti di Timur Tengah yang pertumbuhan relatif stabil.
Penyelamat ekonomi Indonesia pada krisis ekonomi 1998 dan 2008 adalah sektor U M K M, pertanian, dan ekonomi keluarga. Pemerintah harus melakukan stimulus ke sektor ini agar menjadi penopang ekonomi Indonesia di kala situasi internasional sedang goyang.
Jalan Keluar: Diplomasi dan Diversifikasi
Agar tidak terjerumus ke dalam krisis, negara-negara perlu menahan diri dan mengedepankan diplomasi ekonomi. Negosiasi ulang perjanjian dagang dan penyelesaian sengketa melalui forum seperti WTO sangat penting untuk menenangkan gejolak.
Di sisi lain, negara-negara yang terkena tarif tinggi seperti Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor, mendorong pasar dalam negeri, dan memperkuat industri substitusi impor untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu negara tujuan ekspor.
Kesimpulan
Tarif Timbal Balik yang diberlakukan oleh Amerika Serikat berpotensi memicu perang dagang yang lebih luas, terutama jika negara-negara yang dirugikan membalas dengan kebijakan serupa. Jika tidak dikelola dengan baik, ketegangan ini dapat berdampak besar terhadap ekonomi global dan bahkan memicu krisis. Namun, dengan pendekatan diplomatik, reformasi perdagangan, dan penguatan sektor domestik, risiko ini masih bisa dikendalikan. Dunia kini menghadapi pilihan penting: kembali ke semangat kerja sama internasional, atau terjerumus dalam proteksionisme yang merugikan semua pihak.
Sumber :
https://www.bbc.com/indonesia/articles/cnv53q5q2m6o
No comments:
Post a Comment