Sunday, April 20, 2025

Darurat Deflasi 2025 : Strategi Bertahan di Tengah Ekonomi yang Diam

Bayangkan dunia di mana harga-harga terus turun, tapi justru membuat roda ekonomi berhenti berputar. Inilah paradoks deflasi—saat segalanya tampak lebih murah, namun nyaris tak ada yang membeli. Tahun 2025 membawa bayang-bayang krisis baru yang tak terlihat tapi sangat berbahaya: darurat deflasi. Jika tidak dihadapi dengan strategi yang cerdas dan terkoordinasi, kita bukan hanya menghadapi perlambatan ekonomi, tapi juga kehilangan arah pemulihan. Jadi, bagaimana negara, bisnis, dan masyarakat bisa melawan jebakan harga murah yang mematikan ini?


Pada awal tahun 2025, Indonesia mengalami deflasi. Badan Pusat Statistik (atau BPS) mencatat deflasi bulanan (mtm) sebesar 0,76% pada Januari 2025 dan 0,48% pada Februari 2025. Secara tahunan (atau yoy), deflasi tercatat 0,09% pada Februari 2025. 

Fenomena deflasi ini menunjukkan adanya potensi perlambatan ekonomi. Kondisi pasar saat ini menunjukkan adanya oversupply pada sejumlah komoditas primer seperti minyak goreng dan telur. Hal ini terjadi karena produk-produk tersebut tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, menyebabkan penurunan harga yang signifikan. 

Penurunan daya beli masyarakat terlihat jelas, terutama di pasar tradisional yang biasanya ramai menjelang buka puasa namun kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya.

Deflasi di Indonesia menjelang mudik Lebaran 2025, terutama di sektor transportasi, menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Ini tercermin dari penurunan signifikan jumlah pemudik dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan sebesar 24%. Deflasi ini juga berdampak pada peredaran uang, dengan potensi penurunan sebesar Rp 93-232 triliun. 

Deflasi menjelang bulan Ramadan adalah fenomena tidak lazim mengingat tingkat konsumsi masyarakat biasanya cukup tinggi, khususnya untuk kebutuhan pangan dan persiapan lebaran.

Fenomena ini bisa dijelaskan dari dua kemungkinan. Pertama masyarakat mungkin cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menabung. Perilaku ini bisa dipicu oleh banyak hal seperti ketidakpastian ekonomi. Kemungkinan kedua, adanya penurunan pendapatan baik karena PHK dan tidak mendapatkan THR serta kondisi ekonomi yang kurang mendukung pertumbuhan upah.

Bayangan deflasi yang mulai menghantui perekonomian global pada tahun 2025 menjadi sebuah ancaman nyata yang menuntut kesiapan dan strategi matang dari seluruh pemangku kepentingan. Deflasi, atau penurunan harga secara terus-menerus, terdengar seperti kabar baik bagi konsumen pada pandangan pertama. Namun dalam skala makro, deflasi justru membawa konsekuensi ekonomi yang serius, seperti menurunnya daya beli, stagnasi upah, berkurangnya investasi, dan lonjakan pengangguran akibat produsen menurunkan produksi untuk menghindari kerugian. Jika tidak segera diantisipasi, deflasi bisa berubah menjadi spiral yang mematikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus dimulai dari kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral memainkan peran kunci dengan menurunkan suku bunga ke tingkat paling rendah bahkan hingga ke zona negatif, guna mendorong konsumsi dan investasi. Selain itu, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) menjadi instrumen lanjutan yang digunakan untuk menyuntikkan likuiditas ke pasar, terutama untuk mendukung sektor-sektor riil seperti UMKM, properti, dan infrastruktur. Dengan suplai uang yang meningkat, diharapkan masyarakat terdorong untuk membelanjakan uang daripada menahannya, sehingga menggerakkan roda ekonomi kembali.

Di sisi fiskal, pemerintah harus berani mengambil langkah ekspansif. Stimulus langsung dalam bentuk bantuan tunai bersyarat, subsidi energi, dan program padat karya bisa membantu menjaga konsumsi rumah tangga tetap stabil. Di saat yang sama, belanja negara perlu diarahkan untuk proyek-proyek jangka panjang yang menciptakan lapangan kerja dan mendorong permintaan agregat, seperti pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan teknologi hijau. Dalam konteks deflasi, defisit anggaran yang terkendali bukanlah ancaman, melainkan bagian dari solusi untuk mendorong pertumbuhan.

Peran sektor swasta juga krusial. Dunia usaha harus diberikan insentif untuk tetap beroperasi dan berinovasi. Pemangkasan pajak sementara bagi pelaku bisnis, dukungan terhadap digitalisasi proses produksi, dan kemudahan dalam akses pembiayaan merupakan langkah-langkah yang bisa meringankan beban industri agar tetap mampu menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, penting juga untuk meningkatkan kepercayaan konsumen melalui jaminan keamanan pekerjaan, akses layanan kesehatan, dan pendidikan, yang menjadi fondasi bagi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Yang tak kalah penting adalah menjaga psikologi pasar. Dalam situasi deflasi, persepsi bahwa harga akan terus turun membuat masyarakat menunda konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas dan optimistis dari otoritas moneter dan fiskal sangat dibutuhkan. Transparansi terhadap kebijakan dan prediksi ekonomi yang realistis dapat menahan kepanikan dan mengembalikan keyakinan publik bahwa pemerintah mampu mengendalikan situasi.

Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Meski deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa, para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini semu dan tidak mencerminkan daya beli masyarakat" yang sedang menurun.

Deflasi bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi krisis kepercayaan terhadap masa depan. Maka, strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus bersifat menyeluruh, adaptif, dan berbasis kolaborasi antara pemerintah, bank sentral, dunia usaha, dan masyarakat. Di tengah tantangan global seperti pelemahan perdagangan, ketidakpastian geopolitik, dan tekanan teknologi, hanya dengan kebijakan terintegrasi dan berorientasi jangka panjang, Indonesia dan dunia bisa selamat dari jebakan deflasi yang menjerat.


Sumber :

https://unair.ac.id/pakar-ekonomi-soroti-deflasi-tahunan-2025-dampak-perekonomian-indonesia/

https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-alami-deflasi-tahunan-lagi-setelah-25-tahun/8001235.html

No comments:

Post a Comment

Related Posts