Sunday, April 13, 2025

Krisis Moneter 1998: Saat Indonesia Terguncang oleh Badai Ekonomi

Bayangkan dalam hitungan bulan, uang Anda kehilangan hampir seluruh nilainya, harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, ribuan perusahaan bangkrut, dan jalanan dipenuhi amarah rakyat yang lapar dan kecewa. Inilah potret Indonesia tahun 1998—saat krisis moneter menghantam, mengguncang ekonomi, meruntuhkan rezim, dan mengubah arah sejarah bangsa.

Krisis moneter tahun 1998, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Krismon 1998”, merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah ekonomi dan politik Indonesia. 

Krisis moneter adalah kondisi terpuruknya perekonomian suatu negara yang menyebabkan harga-harga aset mengalami penurunan tajam. Keterpurukan ekonomi yang terjadi membuat masyarakat tidak bisa melunasi utang sehingga industri perbankan kekurangan likuiditas.

Munculnya krisis moneter akan berdampak pada kepanikan masyarakat yang akan memicu penjualan aset secara masif dan penarikan dana besar-besaran dari rekening tabungan. Masyarakat terpaksa melakukan hal itu  untuk menghindari risiko kerugian karena harga aset yang terus menurun apabila tetap disimpan.

Krisis ini tidak hanya menghancurkan kestabilan ekonomi nasional, tetapi juga mengguncang struktur sosial dan menjatuhkan rezim pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Berawal dari krisis mata uang di Thailand pada pertengahan 1997, gelombang gejolak finansial dengan cepat menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. 

Pada 2 Juli 1997 atau hari ini 27 tahun silam, pemerintah Thailand mengumumkan keputusan yang dramatis untuk mengambangkan Baht. Bangkok mengakhiri kebijakan nilai tukar tetap yang telah dipertahankan dalam beberapa dekade.

Langkah ini seharusnya merangsang ekspor Thailand dengan membuat produk-produknya lebih murah bagi pasar internasional, namun reaksi pasar justru berlawanan. Investor asing mulai menarik modal mereka secara massal, yang memicu penurunan nilai tukar baht secara drastis dan merembet ke seluruh sektor ekonomi.

Rupiah yang sebelumnya stabil dengan nilai sekitar Rp2.300 per dolar Amerika, dalam waktu singkat merosot tajam hingga menyentuh angka Rp17.000 per dolar pada awal 1998. Nilai tukar yang anjlok tersebut menyebabkan utang luar negeri swasta Indonesia yang berdenominasi dolar membengkak, dan banyak perusahaan besar pun kolaps.

Inflasi melonjak tinggi, harga-harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, dan masyarakat kehilangan daya beli. Sementara itu, bank-bank mulai runtuh satu per satu, menyebabkan kepercayaan terhadap sistem keuangan semakin menghilang. 

Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.

Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.

Pemerintah, yang sebelumnya mencoba mempertahankan sistem kurs mengambang terkendali, akhirnya menyerah pada tekanan pasar dan membiarkan rupiah terapung bebas. Dana Moneter Internasional (IMF) pun turun tangan dengan paket bantuan, namun langkah-langkah reformasi yang disyaratkan IMF, seperti pencabutan subsidi dan restrukturisasi bank, justru memperburuk penderitaan masyarakat dalam jangka pendek. Ketimpangan sosial semakin terasa, pengangguran meningkat drastis, dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah.

Krisis ini mencapai puncaknya ketika rakyat turun ke jalan menuntut perubahan. Mahasiswa menggelar demonstrasi besar-besaran di berbagai kota, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pada Mei 1998, setelah kerusuhan besar di Jakarta yang menewaskan ratusan orang dan menyebabkan eksodus warga keturunan Tionghoa, Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Krismon 1998 bukan hanya soal kehancuran nilai tukar atau kebangkrutan perusahaan; ia menjadi titik balik dalam sejarah bangsa. Dari peristiwa tersebut lahir era reformasi, dengan semangat untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang lebih transparan, demokratis, dan berkeadilan.

Namun, warisan krisis itu masih terasa hingga kini. Ketergantungan pada utang luar negeri, kerentanan terhadap gejolak eksternal, dan tantangan dalam membangun sistem ekonomi yang inklusif masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Krismon 1998 mengajarkan bahwa kestabilan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas pertumbuhan semu, tetapi harus ditopang oleh struktur yang kuat, pengawasan yang baik, serta kepercayaan rakyat terhadap institusi negaranya. Momentum pahit tersebut sekaligus menjadi pelajaran penting bahwa krisis bisa datang kapan saja, dan kesiapsiagaan adalah kunci dalam menghadapi badai berikutnya.


Sumber :

https://www.tempo.co/ekonomi/menengok-krisis-moneter-asia-1997-asal-usul-penyebab-dan-dampaknya-43930

https://finance.binus.ac.id/2022/12/krisis-moneter-1997-di-indonesia-lecturenotes/

https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246

https://rri.co.id/keuangan/703344/apa-itu-krisis-moneter-pemicu-reformasi-98

No comments:

Post a Comment

Related Posts