Krisis ekonomi tahun 1970, yang lebih dikenal sebagai "Krisis Stagflasi," merupakan periode penuh gejolak yang menandai perubahan besar dalam lanskap ekonomi global.
Stagflasi adalah periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Ketika istilah ini muncul, publik akan kembali ingat akan sejarah stagflasi yang menghantam di era 1970-an.
Stagflasi merupakan kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguaran yang tinggi di waktu bersamaan dalam periode tertentu. Kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga barang pokok atau inflasi.
Stagflasi ekonomi pada tahun 1970-an dipicu oleh disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.
Berbeda dari krisis sebelumnya yang biasanya melibatkan resesi dengan inflasi rendah, krisis pada dekade ini ditandai dengan kombinasi tak lazim antara inflasi tinggi, pengangguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan—sebuah fenomena yang oleh para ekonom disebut sebagai "stagflasi". Krisis ini bermula dari guncangan harga minyak dunia yang dipicu oleh embargo minyak yang dilakukan oleh negara-negara anggota OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) pada tahun 1973 sebagai respons terhadap dukungan Barat terhadap Israel dalam Perang Yom Kippur. Harga minyak melonjak drastis, menciptakan lonjakan biaya produksi yang menyebar ke seluruh sektor industri dan berdampak langsung pada harga-harga barang konsumsi.
Negara-negara industri, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, terpukul hebat oleh kenaikan harga energi ini. Kenaikan harga minyak tidak hanya menyebabkan biaya produksi melonjak, tetapi juga menggerus daya beli masyarakat secara signifikan. Upah riil stagnan sementara harga barang meroket, membuat kelas menengah mengalami tekanan ekonomi yang hebat. Dalam situasi normal, bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, atau menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan. Namun dalam situasi stagflasi, langkah apa pun terasa serba salah—menaikkan suku bunga bisa membuat pengangguran meningkat, sementara menurunkannya bisa memperburuk inflasi. Ini membuat para pembuat kebijakan menghadapi dilema besar yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Dampak krisis ini juga meluas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada impor minyak serta lemahnya diversifikasi ekonomi membuat negara-negara berkembang mengalami tekanan inflasi dan defisit neraca perdagangan.
Periode 1970-an kerap disebut sebagai era emas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berkat pendapatan melimpah dari minyak, Indonesia bisa mendanai pembangunannya. Defisit anggaran seperti pada periode-periode sebelumnya bukan lagi masalah. Namun, perjalanan ekonomi Indonesia saat itu juga tidak mudah.
Krisis ini mendorong banyak negara untuk mulai mempertimbangkan kebijakan substitusi impor dan mendorong pengembangan energi alternatif serta efisiensi energi. Krisis tahun 1970-an juga menjadi momen penting lahirnya berbagai pemikiran baru dalam kebijakan ekonomi. Dominasi ekonomi Keynesian yang sebelumnya berjaya mulai dipertanyakan, dan muncul aliran pemikiran ekonomi baru seperti Monetarisme yang dipopulerkan oleh Milton Friedman, yang menekankan pentingnya pengendalian jumlah uang beredar sebagai cara untuk menekan inflasi.
Tanda-tanda ancaman resesi global semakin terlihat. Kondisi krisis ekonomi yang dialami dunia saat ini lebih mirip resesi 1970 ketimbang krisis 1998 dan 2008.
Pemerintah harus pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi krisis. Misalnya dengan menjaga stabilitas stok pangan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor beberapa komoditas yang rawan terimbas melemahnya kurs. Stok pangan yang dimaksud ialah gula, garam, daging sapi, gandum, dan bawang putih.
Secara global, krisis ekonomi 1970-an memperlihatkan betapa rapuhnya sistem ekonomi dunia terhadap guncangan eksternal seperti harga komoditas. Peristiwa ini menjadi pengingat kuat bahwa ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya tertentu—seperti minyak—bisa menjadi titik lemah sistem ekonomi jika tidak diimbangi dengan strategi ketahanan dan diversifikasi. Dalam jangka panjang, krisis ini mendorong banyak negara untuk memikirkan kembali struktur energi dan ekonominya, serta mulai membuka jalan bagi transformasi global menuju sistem ekonomi yang lebih tangguh, fleksibel, dan berorientasi pada keberlanjutan.
Perekonomian Amerika Serikat (AS) berisiko menuju stagflasi, atau periode yang ditandai dengan pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi yang terus-menerus. JP Morgan mencatat AS sedang menuju ke arah stagflasi pada 1970-an. Kekhawatiran terhadap stagflasi telah meningkat, berbeda dengan banyak perkiraan optimis sebelumnya yang mengantisipasi penurunan inflasi dan pertumbuhan yang kuat.
Sumber :
https://www.cnbcindonesia.com/news/20221005063732-4-377260/intip-kengerian-stagflasi-1970-an-bisa-terulang-tahun-ini
https://tirto.id/indonesia-1970an-kaya-minyak-tapi-nyaris-pailit-karena-pertamina-f5qX
https://www.tempo.co/ekonomi/ekonom-resesi-global-2023-lebih-mirip-krisis-1970-ketimbang-1998-278003
https://artikel.pajakku.com/apa-itu-stagflasi/
https://www.metrotvnews.com/read/KYVCD6EP-jp-morgan-prediksi-ekonomi-as-menuju-stagflasi
No comments:
Post a Comment