Tuesday, June 3, 2025

Gaji UMR vs Gaya Hidup Mewah: Bisa Gak Sih

Pertanyaan “Gaji UMR vs Gaya Hidup Mewah: Bisa Gak Sih?” terdengar seperti paradoks yang sering jadi bahan perbincangan di warung kopi, linimasa media sosial, bahkan forum finansial. Di satu sisi, ada keinginan untuk hidup nyaman, stylish, dan eksis; di sisi lain, realita angka di slip gaji tampak terlalu kecil untuk semua impian itu. Gaji UMR atau Upah Minimum Regional memang dirancang sebagai batas minimum penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Namun, ketika kebutuhan dasar itu berbenturan dengan standar hidup media sosial, pertanyaannya bukan cuma “bisa gak?”—tapi juga “seberapa jauh kamu mau mengorbankan kenyataan demi ilusi?”

Bagi sebagian orang, gaya hidup mewah tak selalu berarti mobil sport dan liburan ke Eropa. Dalam konteks urban millennial dan Gen Z saat ini, "mewah" bisa berarti ngopi setiap sore di kafe estetik, pakai iPhone keluaran terbaru, langganan Netflix, makan di resto Korea, dan sesekali staycation. Semua itu tampak seperti kebutuhan biasa di feed Instagram, tapi untuk seseorang yang bergaji UMR—katakanlah sekitar Rp4–5 juta di kota besar—pola konsumsi semacam ini dapat menggerus keuangan dalam hitungan minggu. Bahkan sebelum tengah bulan, dompet dan rekening bisa kosong, sementara utang kartu kredit atau paylater mengintai dengan bunga tak kasat mata.

Meski begitu, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan keinginan untuk menikmati hidup. Semua orang ingin merasakan kemewahan, bahkan hanya sesekali. Namun pertanyaannya kembali ke kemampuan: apakah kemewahan itu dibayar tunai atau dicicil dengan masa depan? Apakah kamu hidup untuk memenuhi standar orang lain, atau untuk membangun kehidupan yang stabil dalam jangka panjang?

Beberapa orang memang pintar bermain strategi. Mereka membagi waktu dengan menjadi freelancer di luar jam kerja, membangun usaha kecil-kecilan online, atau berhemat dalam banyak aspek demi satu dua pos gaya hidup yang mereka anggap penting. Tapi banyak juga yang terjebak: hidup dari gaji ke gaji, tanpa tabungan, dengan utang konsumtif yang terus menumpuk. Sering kali, gaya hidup mewah yang dipaksakan justru menciptakan tekanan mental tersendiri—kehilangan makna hidup, merasa gagal, dan terjebak dalam lingkaran pembanding sosial yang tak berujung.

Jadi, jawabannya: bisa gak hidup mewah dengan gaji UMR? Secara teknis mungkin, secara psikologis melelahkan, dan secara finansial tidak berkelanjutan. Jika tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, yang terjadi bukanlah kenaikan kelas sosial, melainkan jebakan gaya hidup yang menggerus peluang untuk masa depan yang aman dan mandiri.


Hidup di tengah kota dengan gaji UMR sering kali terasa seperti berjalan di tali yang ditarik kencang. Satu langkah salah, dan kamu bisa jatuh dalam lubang utang, stres finansial, atau penyesalan jangka panjang. Di tengah gempuran gaya hidup digital dan tekanan sosial dari media, menjaga gaya hidup tetap seimbang sesuai penghasilan bukan hal yang mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Justru dari kesadaran akan keterbatasan itulah seseorang bisa membentuk pola hidup yang realistis, sehat secara finansial, dan penuh kendali diri.

Kuncinya adalah mengenali ritme penghasilan dan membangun gaya hidup yang mengikuti alur itu, bukan sebaliknya. Banyak orang jatuh ke dalam jebakan “ingin terlihat mapan” padahal secara finansial belum siap. Gaji UMR—sekitar empat sampai lima juta di kota besar—sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar jika dikelola dengan bijak. Namun ketika semua hal ingin dipenuhi sekaligus—kafe kekinian, gadget terbaru, fashion branded, liburan dadakan—yang terjadi adalah kekacauan anggaran dan perasaan cemas di akhir bulan.

Gaya hidup seimbang bukan berarti hidup seadanya, tapi hidup dengan prioritas yang jelas. Kamu tetap bisa nongkrong, tapi mungkin cukup sekali seminggu. Kamu tetap bisa belanja, tapi kamu tahu mana yang kebutuhan dan mana yang cuma keinginan sesaat. Dengan gaya hidup seimbang, kamu tidak meniadakan kesenangan, tapi kamu menyesuaikannya dengan kemampuan. Di sini, kemampuan menunda kepuasan—delayed gratification—menjadi aset paling berharga.

Misalnya, dengan menyisihkan 10–20 persen gaji untuk tabungan atau dana darurat di awal bulan, kamu sudah memberi ruang aman dalam keuanganmu. Sisanya, kamu atur secara proporsional untuk kebutuhan harian, transportasi, dan hiburan. Jika memungkinkan, mencari sumber penghasilan tambahan bisa memberi napas lebih lega, tapi yang utama adalah menghindari gaya hidup reaktif—di mana kamu membeli atau melakukan sesuatu hanya karena semua orang melakukannya.

Salah satu fondasi dari gaya hidup realistis ala UMR adalah kesadaran diri. Kesadaran bahwa kamu tidak harus mengikuti standar hidup orang lain. Kesadaran bahwa kekayaan sejati tidak datang dari konsumsi berlebihan, tetapi dari kemampuan membangun fondasi keuangan yang sehat secara bertahap. Dan kesadaran bahwa hidup yang teratur, tidak tergantung utang konsumtif, jauh lebih nyaman daripada pencitraan semu yang habis dalam seminggu.

Jadi, gaya hidup seimbang bukan berarti mengurung diri dari dunia luar atau hidup dalam keseragaman tanpa warna. Justru sebaliknya, ia adalah hidup dengan kendali, bukan terbawa arus. Dengan penghasilan yang mungkin terbatas, kamu bisa tetap punya ruang untuk tumbuh, bermimpi, dan menikmati hidup—asal kamu tahu batas, dan tahu mana yang layak diperjuangkan.

Saturday, May 24, 2025

Efek Domino dari PT Sritex Pailit

PT Sritex Pailit.

Apa yang Terjadi pada Dunia Usaha Indonesia?.

Setelah lebih dari lima dekade menjadi ikon industri tekstil nasional, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024. Keputusan ini menandai berakhirnya perjalanan perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia dalam ekspor tekstil dan penyedia seragam militer untuk puluhan negara . Penutupan operasional Sritex per 1 Maret 2025 berdampak langsung pada lebih dari 10.965 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) .

Akar Masalah.

Utang Menggunung dan Gagal Bayar.

Sritex, yang berdiri sejak 1966, mengalami tekanan finansial berat akibat utang yang menumpuk hingga mencapai Rp29,8 triliun. Meskipun sempat mendapatkan perpanjangan restrukturisasi utang melalui PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pada 2021, perusahaan gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur, termasuk PT Indo Bharat Rayon. Gugatan dari kreditur ini berujung pada putusan pailit oleh pengadilan .


Dampak Sosial dan Ekonomi.

Penutupan Sritex tidak hanya berdampak pada ribuan karyawan yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga menimbulkan efek domino pada industri tekstil nasional. Sebagai salah satu pemain utama, kejatuhan Sritex menjadi sinyal peringatan bagi dunia usaha Indonesia tentang pentingnya manajemen keuangan yang prudent dan adaptasi terhadap dinamika pasar global .


Pelajaran bagi Dunia Usaha.

Kasus Sritex menggarisbawahi perlunya perusahaan untuk,

  • Mengelola utang dengan bijak. 
  • Menghindari ekspansi agresif tanpa perhitungan matang.
  • Menjaga transparansi dan tata kelola. 
  • Membangun kepercayaan dengan kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
  • Beradaptasi dengan perubahan pasar.
  • Memperkuat daya saing melalui inovasi dan efisiensi operasional.

Kejatuhan Sritex menjadi cermin bagi dunia usaha Indonesia untuk lebih waspada dan responsif terhadap tantangan ekonomi yang terus berkembang.


Pailit di Sektor Manufaktur.

Apa yang Salah?.

Sektor manufaktur pernah menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja, menjadi andalan ekspor nonmigas, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19 pada 2020, sektor ini menghadapi tekanan hebat yang berujung pada gelombang kepailitan. Pertanyaan besar pun muncul: apa yang sebenarnya salah?

Salah satu masalah utama adalah struktur pembiayaan yang rapuh. Banyak perusahaan manufaktur melakukan ekspansi besar-besaran selama masa pertumbuhan, namun pendanaannya banyak bergantung pada pinjaman berbunga tinggi. Ketika pandemi menghantam dan permintaan menurun drastis, arus kas perusahaan pun terganggu. Ketidakmampuan membayar utang membuat beberapa perusahaan terseret ke dalam status gagal bayar hingga pailit. PT Sri Rejeki Isman (Sritex), misalnya, yang sempat menjadi ikon tekstil nasional, akhirnya dinyatakan pailit karena gagal membayar utang jumbo.

Selain itu, kebijakan impor dan kompetisi global juga memberi tekanan berat. Banjirnya barang-barang impor murah dari luar negeri, terutama dari Tiongkok dan Vietnam, membuat produk dalam negeri sulit bersaing dari sisi harga. Sementara upaya untuk meningkatkan efisiensi terkendala oleh biaya energi, logistik, dan ketenagakerjaan yang relatif tinggi. Dalam beberapa kasus, industri manufaktur dalam negeri seolah "bertempur tanpa perlindungan" di pasar yang kian terbuka.

Masalah lain yang turut memperparah adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mempengaruhi biaya produksi secara signifikan. Ketika rupiah melemah, harga bahan baku melonjak, sementara harga jual tidak bisa langsung disesuaikan. Margin keuntungan menyusut, dan perusahaan pun kesulitan bertahan.

Dari sisi internal, banyak perusahaan manufaktur juga belum siap dalam transformasi digital dan otomasi. Di era industri 4.0, efisiensi dan adaptabilitas sangat dibutuhkan. Sayangnya, banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) belum mampu berinvestasi dalam teknologi. Padahal tanpa itu, mereka akan tertinggal jauh dalam hal produktivitas dan daya saing global.

Krisis yang menghantam sektor manufaktur ini bukan hanya tentang angka-angka neraca keuangan, tetapi menyangkut nasib pekerja dan stabilitas sosial-ekonomi. Setiap pailit berarti ribuan orang kehilangan pekerjaan, dan komunitas lokal ikut terdampak. Negara pun kehilangan potensi pendapatan pajak dan devisa ekspor.

Maka, perlu langkah serius untuk membenahi sektor ini. Pemerintah harus memperkuat perlindungan industri strategis, mendorong diversifikasi pasar ekspor, menyediakan insentif untuk transformasi digital, serta menyiapkan skema pembiayaan yang lebih ramah terhadap pelaku usaha manufaktur.

Gelombang pailit yang menghantam sektor manufaktur bukan hanya sinyal krisis, tapi juga seruan untuk refleksi. Jika tidak segera dibenahi, kita bisa kehilangan basis industri yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi nasional.


Efek Domino.

Dari Perusahaan Bangkrut ke Krisis Sosial

Kebangkrutan sebuah perusahaan bukan sekadar cerita bisnis yang gagal mengelola keuangan atau salah dalam mengambil strategi pasar. Di balik keruntuhan sebuah entitas usaha terdapat gelombang dampak yang lebih luas, membentuk efek domino yang bisa mengarah pada krisis sosial. Fenomena ini bukan hal baru, namun di tengah ketidakpastian ekonomi global dan nasional, efeknya terasa semakin tajam dan kompleks.

Saat sebuah perusahaan dinyatakan bangkrut, konsekuensi pertama yang muncul adalah pemutusan hubungan kerja secara massal. Ribuan bahkan puluhan ribu karyawan tiba-tiba kehilangan mata pencaharian. Ini bukan sekadar statistik—ini berarti ada keluarga yang tak lagi bisa membayar biaya sekolah anak, cicilan rumah, bahkan kebutuhan makan sehari-hari. Ketika gelombang pemutusan kerja menyapu beberapa perusahaan dalam satu sektor atau wilayah yang sama, tingkat pengangguran pun melonjak, menciptakan tekanan sosial yang nyata di masyarakat.

Dampak lanjutan dari kebangkrutan perusahaan juga menyasar pelaku usaha lain dalam rantai pasok. Pemasok kecil, vendor logistik, hingga mitra distribusi yang bergantung pada kelangsungan perusahaan utama ikut terguncang. Banyak di antara mereka yang akhirnya turut mengalami kesulitan likuiditas, bahkan ikut gulung tikar. Inilah bagaimana sebuah kebangkrutan bisa menyebar seperti efek domino ke berbagai lini ekonomi.

Krisis sosial juga berpotensi tumbuh dari kondisi ini, terutama ketika pemerintah atau lembaga sosial belum siap dengan sistem jaring pengaman yang kuat. Ketimpangan ekonomi makin melebar, frustrasi sosial meningkat, dan tidak jarang berujung pada gejolak sosial-politik. Dalam sejarah, beberapa krisis sosial besar berakar dari runtuhnya stabilitas ekonomi yang dimulai dari kegagalan sektor usaha.

Lebih jauh, efek domino ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap dunia usaha dan sistem ekonomi secara keseluruhan. Investor menjadi ragu untuk menanamkan modal, masyarakat kehilangan optimisme terhadap mobilitas ekonomi, dan konsumsi domestik pun terhambat akibat daya beli yang menurun. Ini memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Untuk menghindari krisis sosial yang lebih luas akibat gelombang kebangkrutan, diperlukan peran aktif dari semua pihak. Pemerintah harus memperkuat kebijakan proteksi sosial, mempercepat penyaluran bantuan kepada korban PHK, serta menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan tahan krisis. Dunia usaha sendiri perlu mengelola risiko dengan lebih bijak, membangun cadangan likuiditas, dan memperhatikan aspek keberlanjutan bisnis, tidak hanya mengejar pertumbuhan instan.

Krisis perusahaan adalah peringatan, bukan hanya bagi sektor bisnis, tapi juga bagi sistem sosial secara keseluruhan. Karena ketika ekonomi runtuh, yang pertama dan paling keras terkena adalah manusia—dan beban itu terlalu berat jika ditanggung sendiri.

Jika kamu ingin, saya juga bisa bantu buatkan artikel lanjutan tentang bagaimana kebijakan pemerintah dapat meredam efek sosial dari gelombang PHK dan bangkrutnya perusahaan.

Tuesday, April 29, 2025

Dolar dan Dominasi : Amerika sebagai Polisi Ekonomi Dunia

Hubungan antara dolar Amerika Serikat dan peran Amerika sebagai "polisi dunia" merupakan salah satu fenomena geopolitik dan ekonomi paling mencolok dalam sejarah modern. 

Istilah "Polisi Dunia" untuk Amerika Serikat mengacu pada peran dan posisi dominan yang dimilikinya di dunia internasional, dengan kemampuan dan pengaruh militer yang besar, serta cenderung terlibat dalam konflik dan intervensi di berbagai negara. Istilah ini mencerminkan kesadaran akan peran Amerika Serikat dalam menjaga perdamaian dan keamanan global, meskipun juga menuai kritik terkait intervensi dan potensi dampak negatifnya. 

Polisi global adalah istilah informal untuk sebuah negara yang berusaha mencari atau mengklaim kekuasaan tertinggi dalam dunia global. Istilah polisi global pertama kali digunakan oleh Kerajaan Inggris, dan digunakan sejak tahun 1945 oleh Amerika Serikat, negara yang paling berpengaruh di antara empat negara yang menjadi pemenang dalam Perang Dunia II.

Dolar Amerika Serikat mulai menggantikan pound sterling sebagai mata uang cadangan internasional dari tahun 1920-an sejak muncul dari Perang Dunia Pertama relatif tanpa kendala dan karena Amerika Serikat termasuk penerima emas ketika masa perang yang signifikan. Setelah Amerika Serikat muncul sebagai negara adikuasa global yang bahkan lebih kuat selama Perang Dunia Kedua, Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 menetapkan sistem moneter internasional pascaperang, dengan naiknya dolar Amerika Serikat menjadi mata uang cadangan utama dunia untuk perdagangan internasional, dan satu-satunya mata uang pascaperang dengan jaminan emas dengan harga $35 per troy ounce.

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada spekulasi bahwa Tiongkok dapat mengambil alih peran sebagai polisi global, dengan usaha yang telah dilakukannya untuk melindungi jalur pelayaran dan para pekerja luar negeri mereka yang ada di Tiongkok, serta upaya mereka 'menyelinap ke dalam persekutuan negara-negara adidaya'. Pihak Barat, berdasarkan surat kabar Financial Times menyatakan bahwa hal ini harus dilihat sebagai suatu peluang, bukan sebagai suatu ancaman.

Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan global tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi Amerika, tetapi juga menjadi instrumen kekuatan politik yang memungkinkan negara tersebut memainkan peran dominan dalam tatanan dunia. Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan pembentukan sistem Bretton Woods, dolar secara resmi diakui sebagai mata uang utama dunia yang dipatok terhadap emas. Meskipun sistem itu akhirnya runtuh pada awal 1970-an, status dolar sebagai mata uang internasional tetap bertahan, bahkan semakin menguat, terutama karena pengaruh besar Amerika Serikat dalam ekonomi global, sektor keuangan, dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Keunggulan ini memberi Amerika "senjata" yang kuat dalam bentuk apa yang dikenal sebagai “senjata finansial.” Misalnya, dengan kemampuan mengakses sistem keuangan internasional berbasis dolar dan pengaruh besar terhadap sistem SWIFT (jaringan pembayaran internasional), Amerika dapat memberlakukan sanksi ekonomi secara efektif kepada negara-negara yang dianggap mengancam stabilitas atau melanggar kepentingan globalnya. Negara-negara seperti Iran, Rusia, dan Korea Utara pernah menjadi sasaran dari strategi semacam ini, yang menjadi bagian dari diplomasi koersif non-militer yang kian dominan sejak awal abad ke-21. Dalam hal ini, peran dolar tidak hanya sebagai alat transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai alat diplomasi dan kontrol.

Dominasi dolar juga memberikan kemampuan bagi Amerika Serikat untuk membiayai kebijakan luar negerinya yang agresif tanpa mengalami tekanan keuangan dalam jangka pendek. Dengan mencetak uang dalam mata uang yang dipercaya dan digunakan di seluruh dunia, Amerika memiliki ruang untuk mendanai operasi militer, bantuan luar negeri, dan berbagai aktivitas intervensi tanpa harus khawatir akan penurunan drastis pada nilai tukar atau tingkat inflasi. Inilah yang menyebabkan banyak pengamat mengaitkan posisi dolar dengan peran "polisi dunia" yang diemban oleh Amerika—bahwa tanpa dominasi dolar, kemungkinan besar kemampuan negara itu untuk mempertahankan pengaruh global secara militer dan ekonomi akan jauh lebih terbatas.

Namun, hubungan ini tidak datang tanpa risiko. Ketergantungan dunia pada dolar juga menimbulkan kritik dan upaya dari berbagai negara untuk mendiversifikasi cadangan devisa mereka atau membentuk sistem keuangan alternatif. Negara-negara seperti China dan Rusia secara aktif membentuk aliansi ekonomi yang tidak sepenuhnya bergantung pada dolar, termasuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral dan mengembangkan sistem pembayaran alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi dolar yang memperkuat peran global Amerika juga berpotensi memicu resistensi geopolitik yang dapat mengubah lanskap moneter internasional dalam beberapa dekade ke depan.

Resistensi geopolitik mengacu pada perlawanan atau penentangan terhadap kebijakan dan tindakan yang terkait dengan geopolitik, yang seringkali melibatkan kepentingan nasional atau regional yang bertentangan. Dalam konteks ini, geopolitik adalah studi tentang bagaimana faktor geografis memengaruhi hubungan politik dan strategi negara-negara di dunia. Resistensi geopolitik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perlawanan fisik hingga perlawanan politik dan ekonomi. 

Singkatnya, hubungan erat antara dominasi dolar dan peran Amerika Serikat sebagai "polisi dunia" merupakan simbiosis yang saling memperkuat. Dolar menyediakan kekuatan ekonomi dan diplomatik, sementara peran global Amerika menjaga kepercayaan terhadap mata uang tersebut. Selama dunia masih menggunakan dolar sebagai alat transaksi dan cadangan devisa utama, peran dominan Amerika di panggung dunia kemungkinan besar akan terus berlanjut. Namun, di tengah ketidakpastian geopolitik dan perubahan struktur kekuatan global, pertanyaan pentingnya adalah: sampai kapan ketergantungan dunia pada dolar akan bertahan?

Fenomena yang kini ramai diperbincangkan adalah de-dollarisasi, yaitu upaya negara-negara di dunia untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat.

Percepatan proses de-dollarisasi tidak terjadi begitu saja, melainkan didorong oleh sejumlah faktor strategis yang mencerminkan ketidakpuasan global terhadap dominasi dolar Amerika Serikat. 

Maka tak heran jika negara aliansi BRICS yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan untuk berencana membentuk sistem pembayaran baru, alias tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang mereka untuk melakukan transaksi.

Sumber :

https://www.zenius.net/blog/amerika-serikat-polisi-dunia-bagian-2/#:~:text=Gak%20heran%20Amerika%20disebut%20sebagai,dunia%20ini%2C%20tanpa%20menyoroti%20sebabnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Polisi_global

https://rmol.id/politik/read/2025/03/28/661352/agenda-geopolitik-kawasan-tak-ingin-indonesia-kuat

https://www.kompasiana.com/yunitadfjr6999/6809c210ed6415291a3ffb22/de-dollarisasi-global-akankah-dolar-as-kehilangan-dominasi

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230418063931-4-430795/kapan-momen-tepat-dedolarisasi-ri-ini-kata-eks-menkeu-ri

https://id.wikipedia.org/wiki/Dedolarisasi

Sunday, April 27, 2025

Bagaimana Bisa Terjadi Fluktuasi Kurs Rupiah terhadap Dolar?

"Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa nilai Rupiah kadang meluncur tajam terhadap Dolar Amerika tanpa peringatan? Di balik angka-angka yang berubah setiap hari itu, tersembunyi dinamika besar antara ekonomi global, sentimen pasar, dan kebijakan domestik. Fluktuasi kurs bukan sekadar permainan pasar—ia adalah cerminan dari kepercayaan dunia terhadap kekuatan ekonomi sebuah negara. Mari kita telusuri bersama apa yang sebenarnya menggerakkan naik turunnya Rupiah di hadapan Dolar."

Fluktuasi kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi tanpa sebab. 

Untuk diketahui, nilai tukar rupiah merupakan hal penting yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Ini dikarenakan situasi tersebut akan memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap perekonomian sebuah negara.

Kurs merupakan nilai mata uang suatu negara dengan nilai mata uang negara lain, yang digunakan untuk melakukan perdagangan internasional, kurs ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar valuta asing, pengaruhnya bagi neraca transaksi berjalan dan bagi makro ekonomi yang lainnya. Besarnya dampak akibat dari fluktuasi nilai tukar terhadap perekonomian, maka diperlukan suatu kebijakan untuk mengendalikan nilai tukar mata uang, sehingga pergerakan atau fluktuasi nilai tukar dapat diprediksi dan perekonomian dapat berjalan dengan stabil.

Nilai tukar mata uang sangat sensitif terhadap berbagai faktor ekonomi, politik, hingga sentimen pasar global. Secara sederhana, kurs dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan terhadap Dolar lebih tinggi dibandingkan Rupiah, maka Rupiah akan melemah, dan sebaliknya. Namun di balik hukum dasar itu, ada faktor-faktor lebih kompleks yang bekerja. Salah satunya adalah perbedaan tingkat inflasi dan suku bunga antara Amerika Serikat dan Indonesia. Ketika inflasi di Indonesia tinggi, daya beli Rupiah turun, membuat investor cenderung mencari mata uang yang lebih stabil seperti Dolar. 

Secara umum, sebuah negara dengan tingkat inflasi yang konsisten lebih rendah menunjukkan peningkatan nilai mata uang, sebagaimana daya belinya relatif meningkat terhadap mata uang lainnya. Selama paruh terakhir abad kedua puluh ini, negara-negara yang inflasinya rendah adalah termasuk Jepang, Jerman dan Swiss, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada mencapai inflasi yang rendah kemudian. Negara-negara dengan inflasi yang lebih tinggi biasanya akan mengalami depresiasi pada mata uang mereka jika dibandingkan dengan mata uang mitra dagang mereka. Hal ini juga biasanya disertai dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Selain itu, suku bunga di negara maju seperti Amerika Serikat yang lebih menarik juga membuat arus modal asing keluar dari Indonesia, meningkatkan tekanan terhadap Rupiah.

Faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, atau perubahan kebijakan moneter The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) juga bisa mengguncang pasar mata uang. Misalnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, investor global lebih memilih menyimpan dananya di aset berbasis Dolar, yang dinilai lebih aman, sehingga permintaan terhadap Dolar melonjak dan Rupiah tertekan. Kondisi domestik juga memainkan peran besar. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan, serta utang luar negeri semuanya ikut membentuk kepercayaan pasar terhadap Rupiah. Ketika ada ketidakpastian politik atau ekonomi dalam negeri, investor bisa kehilangan kepercayaan, menjual Rupiah, dan membeli Dolar, yang pada akhirnya memperlemah posisi Rupiah.

Tidak kalah penting, psikologi pasar dan spekulasi juga mempercepat fluktuasi. Terkadang, sentimen negatif atau berita tertentu bisa mendorong aksi jual besar-besaran terhadap Rupiah, walaupun fundamental ekonominya tidak terlalu buruk. Di sinilah peran Bank Indonesia menjadi vital. Melalui intervensi di pasar valas, pengaturan suku bunga, dan kebijakan makro prudensial, Bank Indonesia berusaha menjaga stabilitas kurs agar tidak bergerak liar. 

Dalam jangka panjang tingkat suku bunga Bank Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dan searah terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika, artinya apabila terdapat peningkatan suku bunga, maka dalam jangka panjang akan terjadi pelemahan rupiah terhadap Dolar Amerika.

Lebih lanjut, ekspektasi pasar akan kebijakan suku bunga tinggi Amerika Serikat juga menjadi pemicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kemungkinan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga lebih lanjut setelah mempertahankan suku bunga stabil, seiring dengan tetap memperketat sikap kebijakan moneter yang hawkish.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan menstabilkan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Langkah ini diharapkan dapat meredakan volatilitas mata uang domestik serta memberikan sinyal positif kepada para pelaku pasar mengenai komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Pelemahan rupiah juga memberi keuntungan bagi segelintir pihak. Mereka yang bergaji dolar akan menikmati kurs yang lebih tinggi. Produk ekspor Indonesia juga makin kompetitif di pasar global, meski tak semua eksportir merasakan manfaat karena tergantung bahan baku impor.

Walaupun fluktuasi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah gejolak yang berlebihan, yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan memahami berbagai faktor ini, kita bisa melihat bahwa pergerakan kurs Rupiah terhadap Dolar bukan sekadar angka acak, melainkan hasil interaksi dinamis antara faktor ekonomi, kebijakan, dan psikologi pasar global.

Fluktuasi nilai tukar antara dolar Amerika Serikat dan rupiah Indonesia memiliki dampak yang kompleks dan luas pada berbagai sektor ekonomi. Untuk menghadapi tantangan ini, koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan sektor swasta diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kepentingan ekonomi domestik


Sumber :

https://www.tempo.co/ekonomi/tembus-rp-16-000-ini-penyebab-fluktuasi-nilai-tukar-rupiah-atas-dolar-as-pada-libur-lebaran-68462

https://policy.paramadina.ac.id/inilah-6-faktor-yang-pengaruhi-perubahan-nilai-tukar-mata-uang/

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/ekonom-soroti-kebijakan-intervensi-bi-stabilkan-rupiah-sebagai-langkah-strategis

https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/5773

https://www.tempo.co/ekonomi/apa-yang-terjadi-jika-kurs-rupiah-terus-melemah--1231763

https://www.detik.com/jateng/bisnis/d-7858694/update-nilai-1-dollar-berapa-rupiah-cek-kurs-usd-hari-ini.

https://unair.ac.id/nilai-rupiah-melemah-terhadap-dolar-ini-dampaknya-menurut-ekonom-unair/

Tuesday, April 22, 2025

Mengapa Deflasi Bisa Lebih Menakutkan dari Inflasi?

Bayangkan sebuah dunia di mana harga-harga terus turun, tetapi justru bukan membawa kegembiraan, melainkan kecemasan yang mendalam. Orang-orang menunda belanja, bisnis-bisnis tutup satu per satu, dan roda ekonomi melambat hingga hampir berhenti. Inilah wajah gelap deflasi—ancaman sunyi yang sering tersembunyi di balik ketakutan akan inflasi. Sementara inflasi mencuri uang dari dompet Anda secara perlahan, deflasi merampas nyali dari pasar, melemahkan semangat konsumsi, dan menyulut krisis ekonomi yang jauh lebih sulit dipulihkan. Mengapa deflasi bisa lebih menakutkan dari inflasi? Artikel ini akan mengupasnya tuntas.

Dalam percakapan sehari-hari, inflasi lebih sering menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama saat harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli masyarakat menurun. Namun, di balik bayang-bayang inflasi, terdapat ancaman ekonomi yang tidak kalah serius, bahkan bisa jauh lebih menakutkan—deflasi. Deflasi adalah kondisi ketika harga-harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan yang berkepanjangan. 

Berdasarkan teori secara umum, Deflasi adalah kondisi ekonomi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan. Kondisi ini bisa memberikan dampak negatif pada perekonomian, seperti penurunan produksi, peningkatan pengangguran, dan perlambatan ekonomi. Walaupun harga barang menjadi lebih murah, deflasi juga bisa membuat masyarakat dan perusahaan menunda pembelian karena berharap harga akan terus turun, yang pada akhirnya mengurangi permintaan dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. 

Sekilas, hal ini mungkin terdengar sebagai kabar baik bagi konsumen. Harga murah seolah menjadi keuntungan tersendiri, tetapi kenyataan ekonominya justru sebaliknya: deflasi bisa menjadi gejala dari sistem ekonomi yang sedang sakit dan kehilangan daya geraknya.

Salah satu alasan mengapa deflasi begitu berbahaya adalah karena ia menciptakan siklus penurunan yang sulit dipatahkan. Ketika harga-harga turun, konsumen dan pelaku bisnis cenderung menunda pembelian dan investasi dengan harapan harga akan terus lebih murah di masa mendatang. Akibatnya, permintaan pun lesu, produksi melambat, dan perusahaan mulai mengurangi tenaga kerja untuk menekan biaya. Ini mengakibatkan peningkatan pengangguran dan penurunan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya membuat daya beli semakin lemah. Siklus ini bisa berlangsung terus-menerus, menciptakan spiral deflasi yang menyeret ekonomi ke dalam stagnasi bahkan depresi.

Berbeda dengan inflasi, yang masih bisa dikendalikan dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga atau menahan pasokan uang, deflasi jauh lebih rumit diatasi karena menuntut stimulus yang agresif dalam kondisi kepercayaan pasar yang rendah. 

Berdasarkan teori secara umum, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas pada barang lainnya.

Bank sentral bisa menurunkan suku bunga bahkan hingga nol, tetapi jika masyarakat tetap tidak mau membelanjakan uangnya dan pelaku bisnis enggan berinvestasi, maka semua dorongan kebijakan tersebut bisa tidak efektif. Situasi ini dikenal sebagai “liquidity trap,” di mana uang beredar di pasar, tetapi tidak mengalir ke sektor produktif.

Contoh nyata dari bahaya deflasi bisa dilihat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang selama beberapa dekade terakhir, yang dikenal sebagai "The Lost Decades." Jepang mengalami tekanan deflasi berkepanjangan sejak awal 1990-an akibat gelembung properti dan saham yang pecah. Meskipun Jepang adalah negara maju dengan infrastruktur yang sangat baik, pertumbuhan ekonominya stagnan selama bertahun-tahun karena konsumsi yang lemah dan investasi yang terhambat.

Di tengah tantangan global saat ini, kekhawatiran terhadap deflasi kembali mencuat, terutama saat krisis finansial atau resesi berkepanjangan menggerus aktivitas ekonomi. Pandemi, disrupsi rantai pasok, dan ketidakpastian geopolitik juga menjadi pemicu turunnya permintaan global yang dapat memicu tekanan deflasi di banyak negara. Dalam konteks ini, penting bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada pengendalian inflasi, tetapi juga waspada terhadap risiko deflasi yang bisa datang diam-diam namun berdampak destruktif.

Deflasi, meskipun terlihat menguntungkan karena harga barang turun, memiliki bahaya jangka panjang yang signifikan, seperti penurunan pendapatan, meningkatnya pengangguran, dan potensi resesi ekonomi. Konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga lebih murah di masa depan, mengurangi permintaan dan produksi, serta menyebabkan kerugian bagi bisnis. 

Pada masa deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan bahwa harga-harga barang dan jasa akan terus turun dan menjadi semakin murah. Jika deflasi terus menerus terjadi dalam waktu yang lama, maka produsen tidak dapat menjual produknya, sehingga kondisi keuangannya akan memburuk.

Penyebab deflasi bermacam-macam, bisa karena faktor supply yang melimpah, yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan dalam perekonomian seperti deregulasi. Deflasi juga bisa terjadi karena penurunan harga komoditas utama seperti harga minyak, dan bisa pula karena kelebihan kapasitas produksi (atau supply).

Bila terjadinya deflasi terkait dengan empat faktor pertama, biasanya itu tidak berbahaya.

Namun, jika deflasi terjadi ketika konsumen mengurangi pengeluarannya karena mereka  memperkirakan harga akan terus turun atau seiring berjalan waktu menjadi lebih khawatir akan keamanan prospek perekonomian ke depan, terutama bila angka pengangguran terus meningkat.

Begitu juga ketika terjadi kelebihan investasi begitu besar, kala gelembung harga aset pecah, atau saat ketersediaan kredit terbatas, permintaan mungkin akan tetap lemah dalam jangka waktu lama.

Jika deflasi terjadi terus menerus dalam waktu yang cukup lama, maka produsen terpaksa menurunkan harga produknya supaya tetap menarik bagi konsumen. Pada kondisi yang ekstrim, produsen harus melakukan PHK atas sebagian karyawannya untuk bisa tetap beroperasi, atau bahkan menutup usahanya.

Singkatnya, deflasi bukan sekadar penurunan harga. Ia adalah sinyal adanya ketidakseimbangan dalam ekonomi, hilangnya keyakinan dalam konsumsi dan investasi, serta gejala bahwa roda ekonomi tengah kehilangan momentum. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa lebih merusak daripada inflasi, karena bukan hanya harga yang turun, tetapi juga semangat berusaha dan harapan akan pertumbuhan yang menguap. Oleh karena itu, memahami deflasi dan mengantisipasinya menjadi krusial bagi kestabilan ekonomi jangka panjang.


Sumber :

https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/50515/bahaya-deflasi-berkaca-krisis-as-jepang-buntut-deflasi-panjang/2

https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Inflasi_Atau_Deflasi__Mana_yang_Lebih_Berbahaya_dalam_Perencanaan_Pensiun&news_id=188660&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman=1

Sunday, April 20, 2025

Darurat Deflasi 2025 : Strategi Bertahan di Tengah Ekonomi yang Diam

Bayangkan dunia di mana harga-harga terus turun, tapi justru membuat roda ekonomi berhenti berputar. Inilah paradoks deflasi—saat segalanya tampak lebih murah, namun nyaris tak ada yang membeli. Tahun 2025 membawa bayang-bayang krisis baru yang tak terlihat tapi sangat berbahaya: darurat deflasi. Jika tidak dihadapi dengan strategi yang cerdas dan terkoordinasi, kita bukan hanya menghadapi perlambatan ekonomi, tapi juga kehilangan arah pemulihan. Jadi, bagaimana negara, bisnis, dan masyarakat bisa melawan jebakan harga murah yang mematikan ini?


Pada awal tahun 2025, Indonesia mengalami deflasi. Badan Pusat Statistik (atau BPS) mencatat deflasi bulanan (mtm) sebesar 0,76% pada Januari 2025 dan 0,48% pada Februari 2025. Secara tahunan (atau yoy), deflasi tercatat 0,09% pada Februari 2025. 

Fenomena deflasi ini menunjukkan adanya potensi perlambatan ekonomi. Kondisi pasar saat ini menunjukkan adanya oversupply pada sejumlah komoditas primer seperti minyak goreng dan telur. Hal ini terjadi karena produk-produk tersebut tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, menyebabkan penurunan harga yang signifikan. 

Penurunan daya beli masyarakat terlihat jelas, terutama di pasar tradisional yang biasanya ramai menjelang buka puasa namun kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya.

Deflasi di Indonesia menjelang mudik Lebaran 2025, terutama di sektor transportasi, menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Ini tercermin dari penurunan signifikan jumlah pemudik dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan sebesar 24%. Deflasi ini juga berdampak pada peredaran uang, dengan potensi penurunan sebesar Rp 93-232 triliun. 

Deflasi menjelang bulan Ramadan adalah fenomena tidak lazim mengingat tingkat konsumsi masyarakat biasanya cukup tinggi, khususnya untuk kebutuhan pangan dan persiapan lebaran.

Fenomena ini bisa dijelaskan dari dua kemungkinan. Pertama masyarakat mungkin cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menabung. Perilaku ini bisa dipicu oleh banyak hal seperti ketidakpastian ekonomi. Kemungkinan kedua, adanya penurunan pendapatan baik karena PHK dan tidak mendapatkan THR serta kondisi ekonomi yang kurang mendukung pertumbuhan upah.

Bayangan deflasi yang mulai menghantui perekonomian global pada tahun 2025 menjadi sebuah ancaman nyata yang menuntut kesiapan dan strategi matang dari seluruh pemangku kepentingan. Deflasi, atau penurunan harga secara terus-menerus, terdengar seperti kabar baik bagi konsumen pada pandangan pertama. Namun dalam skala makro, deflasi justru membawa konsekuensi ekonomi yang serius, seperti menurunnya daya beli, stagnasi upah, berkurangnya investasi, dan lonjakan pengangguran akibat produsen menurunkan produksi untuk menghindari kerugian. Jika tidak segera diantisipasi, deflasi bisa berubah menjadi spiral yang mematikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus dimulai dari kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral memainkan peran kunci dengan menurunkan suku bunga ke tingkat paling rendah bahkan hingga ke zona negatif, guna mendorong konsumsi dan investasi. Selain itu, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) menjadi instrumen lanjutan yang digunakan untuk menyuntikkan likuiditas ke pasar, terutama untuk mendukung sektor-sektor riil seperti UMKM, properti, dan infrastruktur. Dengan suplai uang yang meningkat, diharapkan masyarakat terdorong untuk membelanjakan uang daripada menahannya, sehingga menggerakkan roda ekonomi kembali.

Di sisi fiskal, pemerintah harus berani mengambil langkah ekspansif. Stimulus langsung dalam bentuk bantuan tunai bersyarat, subsidi energi, dan program padat karya bisa membantu menjaga konsumsi rumah tangga tetap stabil. Di saat yang sama, belanja negara perlu diarahkan untuk proyek-proyek jangka panjang yang menciptakan lapangan kerja dan mendorong permintaan agregat, seperti pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan teknologi hijau. Dalam konteks deflasi, defisit anggaran yang terkendali bukanlah ancaman, melainkan bagian dari solusi untuk mendorong pertumbuhan.

Peran sektor swasta juga krusial. Dunia usaha harus diberikan insentif untuk tetap beroperasi dan berinovasi. Pemangkasan pajak sementara bagi pelaku bisnis, dukungan terhadap digitalisasi proses produksi, dan kemudahan dalam akses pembiayaan merupakan langkah-langkah yang bisa meringankan beban industri agar tetap mampu menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, penting juga untuk meningkatkan kepercayaan konsumen melalui jaminan keamanan pekerjaan, akses layanan kesehatan, dan pendidikan, yang menjadi fondasi bagi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Yang tak kalah penting adalah menjaga psikologi pasar. Dalam situasi deflasi, persepsi bahwa harga akan terus turun membuat masyarakat menunda konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas dan optimistis dari otoritas moneter dan fiskal sangat dibutuhkan. Transparansi terhadap kebijakan dan prediksi ekonomi yang realistis dapat menahan kepanikan dan mengembalikan keyakinan publik bahwa pemerintah mampu mengendalikan situasi.

Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Meski deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa, para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini semu dan tidak mencerminkan daya beli masyarakat" yang sedang menurun.

Deflasi bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi krisis kepercayaan terhadap masa depan. Maka, strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus bersifat menyeluruh, adaptif, dan berbasis kolaborasi antara pemerintah, bank sentral, dunia usaha, dan masyarakat. Di tengah tantangan global seperti pelemahan perdagangan, ketidakpastian geopolitik, dan tekanan teknologi, hanya dengan kebijakan terintegrasi dan berorientasi jangka panjang, Indonesia dan dunia bisa selamat dari jebakan deflasi yang menjerat.


Sumber :

https://unair.ac.id/pakar-ekonomi-soroti-deflasi-tahunan-2025-dampak-perekonomian-indonesia/

https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-alami-deflasi-tahunan-lagi-setelah-25-tahun/8001235.html

Friday, April 18, 2025

The Great Depression 1929 : Ketika Dunia Terjebak dalam Kegelapan Ekonomi

Bayangkan dunia di mana seperempat dari tenaga kerja kehilangan pekerjaannya, bank-bank gulung tikar setiap minggu, dan antrean panjang orang kelaparan memenuhi jalanan kota-kota besar. Itulah kenyataan kelam dari Great Depression, krisis ekonomi global yang tak hanya melumpuhkan pasar, tapi juga mengguncang fondasi sosial dan politik dunia. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri bagaimana kehancuran ekonomi terbesar abad ke-20 dimulai, mengapa ia begitu menghancurkan, dan bagaimana dunia perlahan bangkit dari reruntuhannya.

Great Depression atau Depresi Besar adalah salah satu bencana ekonomi paling dahsyat dalam sejarah modern yang mengguncang dunia sejak akhir dekade 1920-an hingga awal 1940-an. Dimulai dari keruntuhan pasar saham Amerika Serikat pada tanggal 29 Oktober 1929—dikenal sebagai Black Tuesday—krisis ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, menciptakan kehancuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dampaknya begitu mendalam hingga mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi global selama puluhan tahun.

Awalnya, euforia pasar saham di era “Roaring Twenties” menciptakan ilusi kemakmuran. Banyak investor, termasuk individu biasa, terjebak dalam spekulasi dan membeli saham dengan margin—yakni membeli saham dengan uang pinjaman. 

Kondisi itu menyebabkan warga Amerika Serikat berbondong-bondong membeli saham di New York Stock Exchange (NYSE) yang berpusat di Wall Street, New York City. Mulai dari jutawan, juru masak, bahkan petugas kebersihan menghabiskan uangnya untuk membeli saham. Akibatnya, Wall Street melambung tinggi, hingga puncaknya pada Agustus 1929.

Namun, hal itu menyebabkan produktivitas menurun, dan akhirnya jumlah pengangguran meningkat. Harga saham pun semakin tinggi dari nilai sebenarnya.

Kala itu besaran upah warga Amerika Serikat sangat rendah, dan akhirnya utang-utang dari masyarakat atau konsumen membengkak. Ditambah lagi kekeringan yang menyebabkan sektor pertanian memburuk, harga-harga pangan pun jatuh. Perbankan juga kena imbasnya dengan jumlah pinjaman yang besar dan tidak dapat dicairkan.

Ketika harga saham akhirnya runtuh, bukan hanya investor besar yang bangkrut, tetapi jutaan rakyat kecil ikut terjebak dalam hutang tanpa kemampuan membayar. Bank-bank kolaps secara berantai, menelan habis tabungan masyarakat. Industri yang bergantung pada kredit dan konsumsi mulai runtuh, menyebabkan penutupan pabrik dan meningkatnya pengangguran secara drastis.

Pada puncaknya, tingkat pengangguran di Amerika Serikat mencapai lebih dari 25 persen, dan di beberapa negara Eropa bahkan lebih parah. Kelaparan, tunawisma, dan kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari. Para petani tidak mampu menjual hasil panennya, sementara banyak keluarga terpaksa berpindah dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari pekerjaan atau makanan. Fenomena ini mengubah wajah Amerika dan negara-negara lain di dunia secara mendalam.

Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah Amerika Serikat sampai melegalkan "Industri Dosa" (sin industry) yang meliputi penjualan minuman keras, cerutu, perjudian, dan prostitusi di Las Vegas sejak tahun 1930-an bahkan sampai sekarang. Antara 1939 dan 1944, banyak orang mendapat pekerjaan kembali karena Perang Dunia II, dan Depresi Besar pun berakhir.

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Herbert Hoover awalnya gagal mengatasi krisis ini secara efektif. Pendekatan laissez-faire dan keyakinan bahwa pasar akan membetulkan dirinya sendiri ternyata tidak membuahkan hasil. Barulah ketika Franklin D. Roosevelt terpilih sebagai presiden pada 1933, pendekatan baru diluncurkan melalui program besar-besaran yang dikenal sebagai New Deal. Kebijakan ini berupaya menciptakan lapangan kerja, mereformasi sektor perbankan, dan memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat. Meskipun New Deal tidak sepenuhnya mengakhiri Depresi, ia berhasil mengurangi penderitaan dan menciptakan fondasi bagi pemulihan jangka panjang.

Namun, ironisnya, akhir dari Great Depression bukan datang sepenuhnya dari kebijakan ekonomi, melainkan dari meletusnya Perang Dunia II. Perang tersebut memaksa negara-negara untuk meningkatkan produksi industri dan militer, sehingga membuka kembali lapangan kerja dan memutar kembali roda ekonomi yang sempat beku selama lebih dari satu dekade.

Presiden Franklin Roosevelt pada tahun 1933 memberikan janji perubahan besar untuk mendukung kebangkitan bisnis di Amerika, membasmi pengangguran, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Hal tersebut yang menjadi dasar dalam menciptakan serta memelihara infrastruktur nasional, lapangan kerja penuh, dan upah yang baik. Tujuan ini mulai tercapai atas usaha untuk mengendalikan harga, upah pekerja, serta biaya produksi.

Fokus utamanya tetap pada dukungan harga serta upah minimum dan menghapus pemerintahan dari standar emas, melarang perseorangan menimbun logam mulia. Roosevelt melarang monopoli, yang seringkali dianggap kompetitif, praktik bisnis, dan melembagakan berbagai program pekerjaan umum baru serta lembaga penciptaan lapangan kerja.

Great Depression menjadi pelajaran penting dalam sejarah ekonomi dunia. Ia membuktikan betapa rapuhnya sistem keuangan global jika tidak diawasi secara ketat, dan betapa pentingnya intervensi negara dalam menghadapi krisis sistemik. Pengalaman pahit ini juga melahirkan berbagai reformasi besar dalam sektor perbankan, jaminan sosial, serta kebijakan moneter dan fiskal yang menjadi fondasi ekonomi modern hingga saat ini. Lebih dari sekadar krisis ekonomi, Great Depression adalah pengingat bahwa stabilitas dan kemakmuran tidak pernah bisa diambil begitu saja, dan bahwa kebijakan ekonomi yang bijaksana sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan sosial dan kesejahteraan masyarakat.


Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Depresi_Besar

https://www.ocbc.id/id/article/2023/01/02/the-great-depression-adalah

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5189086/sejarah-depresi-hebat-berawal-di-as-hingga-berimbas-ke-seluruh-dunia

Related Posts