Tuesday, December 23, 2025

Tips Investasi Paling Sederhana

Dua Tips Investasi Paling Sederhana yang Justru Paling Sulit Dilakukan


Di dunia investasi, terlalu banyak orang sibuk mencari strategi paling canggih, indikator paling rumit, dan peluang paling “panas”. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa hasil terbaik justru sering datang dari prinsip yang sangat sederhana. Sederhana bukan berarti mudah. Justru karena terlihat mudah, banyak orang mengabaikannya. Dua prinsip investasi berikut ini sering dianggap sepele, namun menjadi fondasi bagi banyak investor legendaris: berinvestasi dalam circle of competency dan berani untuk tidak melakukan apa-apa.

Prinsip pertama adalah circle of competency, atau lingkar kompetensi. Intinya sederhana: investasikan uang Anda hanya pada bisnis yang benar-benar Anda pahami. Bukan sekadar tahu namanya, tetapi mengerti bagaimana perusahaan menghasilkan uang, siapa pelanggannya, apa risikonya, dan mengapa bisnis itu bisa bertahan dalam jangka panjang. Dalam dunia nyata, ini berarti bisnis yang produknya kita temui sehari-hari, model usahanya mudah dijelaskan dalam satu atau dua kalimat, dan tidak membutuhkan asumsi rumit untuk percaya bahwa bisnis tersebut akan tetap relevan lima atau sepuluh tahun ke depan.

Bisnis yang akan tetap relevan dalam sepuluh tahun ke depan berfokus pada teknologi, kesehatan & gaya hidup berkelanjutan, dan kebutuhan dasar digital, seperti layanan keamanan siber, pengembangan aplikasi & AI, edukasi online, produk kesehatan & kecantikan (alami/organik), makanan & minuman sehat, serta jasa digital marketing, bahkan tetap ada bisnis konvensional seperti laundry, toko kelontong, dan F&B yang beradaptasi digital. Tren ini didorong oleh digitalisasi, kesadaran akan kesehatan, dan gaya hidup yang makin sibuk. 

Masalahnya, banyak investor justru merasa harus tahu segalanya. Ketika muncul bisnis baru dengan istilah teknis yang rumit, narasi masa depan yang bombastis, dan janji pertumbuhan eksponensial, rasa takut ketinggalan membuat logika ditinggalkan. Padahal, semakin rumit sebuah bisnis dijelaskan, semakin besar pula risiko salah paham. Investor sukses justru tidak berlomba memperluas lingkar kompetensinya secara agresif, melainkan memperdalamnya. Mereka tidak keberatan melewatkan peluang, karena mereka sadar bahwa melewatkan sesuatu yang tidak dipahami jauh lebih aman daripada terlibat dalam sesuatu yang tampak canggih tetapi rapuh.

Circle of competency juga mengajarkan kerendahan hati. Mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya adalah keunggulan, bukan kelemahan. Dalam investasi, kesalahan besar jarang datang dari hal-hal yang kita tahu salah, tetapi dari hal-hal yang kita pikir kita pahami, padahal tidak. Dengan tetap berada di dalam lingkar kompetensi sendiri, investor membangun margin of safety bukan hanya dari sisi angka, tetapi dari sisi pemahaman.

Margin of Safety (MoS) (Margin Keamanan) dalam investasi adalah selisih antara nilai intrinsik (nilai sebenarnya) sebuah aset dengan harga pasarnya saat ini; ini adalah "bantalan" atau "diskon" yang dibeli investor agar modal terlindungi dari ketidakpastian dan potensi kerugian, memungkinkan pembelian saham di bawah nilai wajarnya untuk potensi keuntungan lebih besar saat harga naik ke nilai intrinsiknya, dipopulerkan oleh Benjamin Graham sebagai inti dari value investing. 

Prinsip kedua terdengar lebih aneh, bahkan bertentangan dengan naluri manusia: jangan lakukan apa-apa. Dalam dunia yang terus bergerak, diam sering dianggap sebagai kemunduran. Dalam investasi, justru sebaliknya. Banyak kerugian besar bukan terjadi karena keputusan yang salah, tetapi karena terlalu sering mengambil keputusan. Keinginan untuk selalu “berbuat sesuatu” membuat investor tergoda jual beli berlebihan, bereaksi terhadap berita jangka pendek, dan mencampuradukkan kebisingan dengan informasi.

Berani tidak melakukan apa-apa berarti percaya pada keputusan yang telah dibuat dengan rasional. Jika Anda sudah membeli bisnis yang baik, dengan harga yang masuk akal, dan prospek jangka panjang yang jelas, maka waktu adalah sekutu terbaik Anda. Biarkan bisnis bekerja, biarkan manajemen menjalankan strateginya, dan biarkan compounding melakukan tugasnya. Dalam banyak kasus, tindakan terbaik adalah duduk diam, bukan karena malas, tetapi karena sadar bahwa intervensi berlebihan justru merusak hasil.

Tidak melakukan apa-apa juga berarti mampu mengendalikan emosi. Pasar akan naik dan turun, berita buruk akan datang silih berganti, dan opini akan berubah setiap hari. Investor yang sukses bukan mereka yang paling cepat bereaksi, tetapi mereka yang paling konsisten menjaga ketenangan. Mereka paham bahwa volatilitas adalah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan imbal hasil jangka panjang, bukan sinyal untuk panik.

Menariknya, kedua prinsip ini saling melengkapi. Circle of competency membuat Anda yakin dengan apa yang Anda miliki, sementara prinsip “jangan lakukan apa-apa” menjaga Anda dari sabotase diri sendiri. Tanpa pemahaman yang kuat, diam terasa menakutkan. Tanpa kesabaran, pemahaman yang baik pun menjadi sia-sia. Kombinasi keduanya menciptakan disiplin investasi yang jarang terlihat, tetapi sangat efektif.

Disiplin dalam berinvestasi berarti secara konsisten menyisihkan uang dan berpegang pada rencana investasi, meskipun ada godaan untuk menggunakan dana tersebut untuk keperluan lain.

Pada akhirnya, investasi bukan soal seberapa sering Anda bertindak, melainkan seberapa tepat Anda bertindak — dan seberapa sering Anda mampu menahan diri. Di dunia yang bising dan penuh distraksi, memahami bisnis sederhana dan berani untuk tidak melakukan apa-apa justru menjadi keunggulan kompetitif. Dua tips ini mungkin terdengar membosankan, tetapi seperti banyak hal penting dalam hidup, yang paling menentukan sering kali adalah yang paling sederhana.

Wednesday, December 3, 2025

Financial Planning 2026

Tahun Menentukan Arah Keuangan Pribadi

Tahun 2026 berada di depan mata, dan bagi banyak orang, ini bukan lagi sekadar pergantian kalender, tetapi momentum untuk menata ulang strategi keuangan. Perubahan ekonomi global, kenaikan biaya hidup, ketidakpastian pekerjaan, serta semakin cepatnya perkembangan teknologi membuat pengelolaan uang tidak lagi bisa dilakukan dengan pola lama. 

Manajemen uang adalah proses mengelola keuangan secara bijak melalui perencanaan, penganggaran, dan pengendalian sumber daya finansial untuk mencapai tujuan keuangan. Ini meliputi kegiatan seperti menabung, mencatat pengeluaran, membuat anggaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, serta berinvestasi untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko. Manajemen uang bisa diterapkan baik secara individu maupun pada perusahaan.  

Jika dahulu orang cukup fokus pada menabung dan bekerja keras, kini perencanaan keuangan harus jauh lebih strategis, dinamis, dan visioner. Financial planning bukan lagi tentang “berapa uang yang kita dapatkan”, tetapi tentang “bagaimana uang bekerja untuk kita dalam jangka panjang”.

Uang bekerja untuk kita dalam jangka panjang melalui investasi, yang memungkinkan uang tumbuh dan mengatasi inflasi, serta dengan mengelola keuangan secara disiplin melalui anggaran, dana darurat, dan perencanaan keuangan yang matang untuk mencapai tujuan finansial seperti pensiun atau pendidikan anak. Dengan mengubah pola pikir agar uang bekerja untuk kita (bukan sebaliknya), kita bisa membangun kekayaan dan keamanan finansial. 

Memasuki 2026, setiap individu perlu memahami bahwa pendapatan saja tidak menjamin stabilitas. Tahun 2025 membuktikan bahwa gaji naik tidak selalu sejalan dengan peningkatan kesejahteraan karena inflasi dan peningkatan gaya hidup ikut menggerus daya beli. Maka, di 2026 fokus utama bukan hanya meningkatkan income, tetapi juga membangun sistem keuangan pribadi yang sehat. 

Sistem keuangan pribadi yang sehat adalah sistem yang terkelola dengan baik, di mana Anda memiliki anggaran yang realistis, memisahkan kebutuhan dan keinginan, menabung dan berinvestasi secara rutin, memiliki dana darurat, serta bebas dari utang konsumtif. Penerapan prinsip-prinsip ini memastikan stabilitas finansial jangka panjang, memungkinkan pencapaian tujuan keuangan, dan memberikan ketenangan saat menghadapi kejadian tak terduga. 

Pengeluaran harus lebih terarah, tabungan harus terukur, dan investasi harus terencana. Tidak ada lagi ruang untuk pola “menghabiskan dulu, baru sisakan untuk tabungan”. Tahun 2026 adalah era “alokasikan dulu untuk masa depan, pakai sisanya untuk hari ini”.

Untuk mengalokasikan dana masa depan, prioritaskan anggaran keuangan Anda dengan menyisihkan pendapatan untuk kebutuhan pokok (seperti makan, tempat tinggal, transportasi) terlebih dahulu, lalu alokasikan sebagian untuk tabungan dan investasi (seperti dana darurat, pensiun, pendidikan), dan sisanya untuk keinginan. Kerangka kerja seperti aturan 50/30/20 dapat membantu mempermudah proses ini. 

Financial planning 2026 juga akan semakin mengarah pada diversifikasi. Mengandalkan satu sumber pendapatan bukan lagi opsi realistis. Banyak orang mulai memikirkan side hustle, passive income, investasi jangka panjang, bahkan monetisasi hobi dan keahlian. 

Passive income adalah pendapatan yang diperoleh secara pasif, artinya Anda tidak perlu terlibat secara aktif setiap saat untuk mendapatkannya, seperti dari investasi atau menyewakan properti. Berbeda dengan penghasilan aktif dari pekerjaan sehari-hari, passive income tetap mengalir meskipun Anda sedang tidur atau berlibur. 

Ketika satu pintu penghasilan mengalami masalah, masih ada pintu lain yang menopang. Begitu pula dalam investasi: tidak lagi bijak bertumpu pada satu instrumen. Reksadana, saham, deposito, emas, SBN, cryptocurrency, hingga urun dana berbasis bisnis UMKM, semuanya memiliki peran jika dikelola dengan pemahaman risiko. Prinsipnya menjadi semakin jelas: semakin besar pengetahuan, semakin terkendali risiko; semakin kecil pengetahuan, semakin besar peluang kerugian.

Namun perencanaan keuangan 2026 bukan hanya tentang membangun kekayaan, tetapi juga melindunginya. Banyak orang bekerja keras bertahun-tahun, tetapi hancur keuangannya hanya karena satu kejadian — sakit berat, kecelakaan, kehilangan pekerjaan, atau konflik keluarga. 

Di sinilah literasi perlindungan finansial menjadi penting. Darurat harus disiapkan, asuransi harus dipahami, dan hutang harus dikendalikan. Memiliki proteksi tidak membuat seseorang pesimis; justru itulah bentuk optimisme dengan perencanaan matang. Orang yang siap menghadapi risiko akan lebih tenang dalam mengejar peluang.

Tahun 2026 juga menuntut perubahan mindset. Perencanaan keuangan tidak hanya berbicara tentang angka, tetapi tentang tujuan hidup. Untuk apa orang bekerja keras? Apa yang ingin dicapai lima hingga sepuluh tahun ke depan? Rumah? Pendidikan anak? Pensiun dini? Kebebasan finansial? 

Kebebasan finansial adalah kondisi di mana seseorang memiliki cukup penghasilan pasif (dari investasi, aset, dan lain-lain) untuk menutupi semua biaya hidup, sehingga tidak perlu bekerja hanya demi uang. Ini berarti seseorang memiliki kendali penuh atas waktu dan keputusan hidupnya tanpa terbebani masalah keuangan, bukan berarti harus kaya raya. Untuk mencapai kebebasan finansial, Anda perlu merencanakan keuangan dengan matang, mengelola utang, membangun dana darurat, berinvestasi, dan memiliki perlindungan seperti asuransi. 

Tanpa tujuan, uang akan selalu habis mengejar keinginan jangka pendek. Tapi ketika tujuan disusun, setiap rupiah memiliki arah. Financial planning bukan lagi penjara, melainkan peta untuk hidup yang lebih terarah, stabil, dan penuh kendali.

Pada akhirnya, Financial Planning 2026 bukan tentang menjadi kaya paling cepat, tetapi menjadi cerdas paling awal. Orang yang sukses bukan mereka yang menunggu ekonomi membaik, tetapi mereka yang menyesuaikan diri sebelum perubahan terjadi. 

Tahun 2026 adalah waktu untuk berhenti menjadi reaktif dan mulai menjadi proaktif. Membuat anggaran bukan untuk membatasi, tetapi untuk membebaskan. Berinvestasi bukan untuk bergaya, tetapi untuk bertahan dan maju. Mengelola uang bukan untuk hari ini, tetapi untuk masa depan. Karena orang yang paling dihargai oleh waktu adalah mereka yang menghargai waktu sejak sekarang.

Tuesday, November 25, 2025

Kejatuhan Bitcoin Bulan Ini

Antara Kepanikan Pasar dan Realitas Risiko Aset Kripto

Bulan ini menjadi periode paling menegangkan bagi para investor kripto, terutama bagi mereka yang menggantungkan harapan besar pada Bitcoin. Setelah sempat menyentuh rekor harga yang memecahkan sejarah, Bitcoin kini jatuh drastis dalam waktu singkat, memperlihatkan kembali sifat liarnya yang selama ini hanya diperingatkan oleh para analis pasar. Koreksi tajam yang terjadi bukan sekadar fluktuasi biasa, tetapi penurunan besar-besaran yang menghapus keuntungan berbulan-bulan hanya dalam hitungan hari. Terbentuknya pola panic selling, likuidasi besar-besaran, dan pelarian modal dari aset kripto telah menciptakan efek domino yang menjadikan kejatuhan Bitcoin bulan ini sebagai salah satu yang paling signifikan sejak masa bear market sebelumnya. Bagi sebagian orang, ini adalah siklus alami dari pasar kripto; bagi yang lain, ini adalah tamparan keras bahwa volatilitas tidak akan pernah benar-benar pergi dari dunia Bitcoin.

Jika ditelusuri lebih dalam, kejatuhan Bitcoin bulan ini tidak terjadi tanpa sebab. Sentimen global memainkan peran besar dalam penurunan drastis tersebut. Kondisi makroekonomi dunia sedang berada dalam fase penuh ketidakpastian: inflasi yang tetap tinggi, kebijakan suku bunga bank sentral yang belum memberikan kejelasan, dan meningkatnya keengganan investor global terhadap aset berisiko membuat pasar kripto berada di tengah badai tekanan. Ketika investor institusi – yang selama dua tahun terakhir menjadi motor utama kenaikan Bitcoin – mulai menarik dana untuk mencari instrumen yang lebih stabil, likuiditas Bitcoin pun menurun tajam. Momentum itu diperparah oleh masifnya posisi leverage dalam perdagangan kripto. Saat harga turun menembus batas pertahanan teknikal, jutaan dolar posisi margin terlikuidasi, memaksa penjualan otomatis dalam jumlah besar dan menggiring harga jatuh lebih dalam.

Namun, kejatuhan Bitcoin bulan ini tidak hanya mencerminkan gejolak makro, melainkan juga memperlihatkan betapa besarnya ketergantungan pasar kripto pada psikologi kolektif. Kripto adalah pasar yang dibangun oleh kepercayaan, semangat, dan harapan. Ketika sentimen optimisme memuncak, harga bisa melesat tanpa batas. Tapi saat ketakutan mendominasi, pasar pun runtuh seketika. Fenomena ini jelas terlihat dalam beberapa minggu terakhir – saat langkah kecil menuju bearish memunculkan paranoia, lalu berkembang menjadi kepanikan global. Investor ritel yang sebelumnya optimistis berbalik menjual; investor baru yang masuk di puncak harga mulai panik; sementara para pemain berpengalaman mengamati dari jauh sambil menunggu titik terendah baru. Kejatuhan Bitcoin bulan ini menjadi ilustrasi paling gamblang bahwa faktor emosional masih menjadi “dewa besar” yang menggerakkan kripto.

Di sisi lain, tidak bisa diabaikan bahwa krisis ini juga memberi pelajaran penting bagi siapa pun yang berinvestasi di kripto. Mereka yang masuk ke pasar tanpa pemahaman terhadap risiko, dengan mental ingin cepat kaya, atau bahkan menggunakan dana pinjaman, kini menghadapi kenyataan pahit. Bitcoin memang memiliki rekam jejak kenaikan luar biasa, tetapi juga menyimpan sejarah kejatuhan yang sama brutalnya. Siklus bull dan bear di dunia kripto bukan hal baru, tetapi banyak investor baru seolah lupa bahwa di balik potensi “keuntungan besar” selalu ada potensi “kerugian besar”. Koreksi bulan ini tidak hanya menguji strategi investasi, tetapi juga ketahanan mental dan disiplin finansial para pelakunya.

Apakah kejatuhan ini menandai akhir Bitcoin? Belum tentu. Banyak analis menyebut penurunan besar seperti ini sebagai fase pembersihan pasar, di mana spekulan jangka pendek tereliminasi dan harga akan menemukan titik keseimbangan baru yang lebih sehat sebelum memasuki siklus pertumbuhan berikutnya. Tapi ini bukan jaminan keamanan. Bitcoin hanya akan menjadi peluang bagi mereka yang memiliki pengetahuan, kesabaran, dan pengelolaan risiko yang baik. Bagi investor jangka panjang yang memahami teknologi dan fundamental blockchain, penurunan ini bisa menjadi peluang akumulasi. Namun bagi mereka yang hanya bergantung pada rumor, euforia, dan keinginan kaya mendadak, kejatuhan ini adalah sinyal untuk berhenti sejenak dan belajar.

Pada akhirnya, kejatuhan Bitcoin bulan ini mengingatkan satu hal penting: aset berisiko tinggi tidak cocok bagi orang yang tidak siap menghadapi risiko. Bitcoin bukan jalan instan menuju kebebasan finansial — ia adalah jalur berliku yang membutuhkan pemahaman mendalam, kedewasaan investasi, dan mental baja untuk bertahan. Mereka yang siap akan memanfaatkan badai sebagai peluang, sementara mereka yang tidak siap akan tenggelam di dalamnya. Dunia kripto bukan untuk semua orang — dan bulan ini membuktikannya dengan sangat jelas.

Monday, November 24, 2025

Ada Apa dengan Santara

Masalah di Balik Platform Urun Dana Populer.

Santara, platform urun dana berbasis ekuitas (atau equity crowdfunding) yang digagas oleh Mardigu Wowiek, pernah dianggap sebagai salah satu jalan inovatif untuk membantu UMKM mendapatkan modal dari masyarakat. 

Ketika kamu sebagai pemodal membeli saham di Santara, kamu tidak hanya menanamkan modal, tetapi juga bisa memiliki sebagian bisnis tersebut: ikut menikmati dividen hasil usaha tanpa harus terlibat aktif dalam operasional.

Model bisnis Santara fokus pada mendanai UKM yang sudah berjalan. Saat sebuah UKM terdaftar sebagai Penerbit di Santara, platform ini melakukan seleksi bisnis terlebih dahulu — mengevaluasi model bisnis, valuasi, kredibilitas, hingga potensi pertumbuhan — agar hanya bisnis yang cukup layak yang bisa mendapatkan pendanaan. 

Namun, belakangan platform ini menghadapi sejumlah tantangan serius yang mempertanyakan integritas operasional dan perlindungan terhadap pemodal.

Salah satu masalah paling mencuat adalah sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (atau OJK). OJK telah memberikan Perintah Tindakan Tertentu (atau PTT) kepada Santara karena dugaan pelanggaran POJK Nomor 57 / POJK 04 / 2020 yang mengatur penawaran efek melalui platform urun dana. 

Salah satu konsekuensi dari PTT tersebut adalah larangan bagi Santara untuk menambah penerbit baru (UKM yang menawarkan saham) sebelum semua efek penerbit yang sudah ada telah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia (atau KSEI). 

Regulasi ini jelas membatasi pertumbuhan platform dan menimbulkan kegelisahan di kalangan investor yang menanti peluang investasi baru.

Perlu dicatat, OJK menilai bahwa Santara perlu memperbaiki tata kelola (atau governance) terutama terkait keterbukaan informasi antara penerbit dan pemodal. 

Regulasi SCF (atau Securities Crowdfunding) menurut pendiri Santara, Mardigu Wowiek, dianggap terlalu menuntut — terutama aturan bahwa penerbit harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (atau PT). Menurutnya, banyak UMKM yang justru tidak berbentuk PT, melainkan CV atau usaha perorangan, dan aturan itu memberatkan mereka untuk ikut pendanaan di platform. 

Kasus ini menimbulkan keraguan tentang perlindungan pemodal. Sebagaimana diungkap OJK, platform harus menjamin keterbukaan informasi agar investor tahu dengan jelas risiko usaha UKM. 

Ada juga kritik akademis mengenai aspek hukum equity crowdfunding di Santara: dalam jurnal akademis disebutkan bahwa perlindungan hukum pemodal masih lemah, dan ada potensi risiko kegagalan usaha, penipuan, atau pencucian uang. 

Dari sisi komunitas investor, ada keluhan serius soal laporan keuangan penerbit. Beberapa investor menyatakan bahwa prospektus tidak sesuai dengan realita: dalam kasus satu perusahaan penerbit (dalam penelitian akademis) diklaim zero risk dan return tinggi, tetapi setelah pendanaan, laporan keuangannya sulit diakses, dan transparansi sangat rendah. 

Ada juga yang menyebut bahwa pasar sekunder Santara sangat tidak likuid — sehingga menjual saham terpakai sangat sulit — dan laporan keuangan perusahaan penerbit tidak profesional karena tidak diaudit dengan standar tinggi.

Semua masalah ini berdampak pada kepercayaan publik terhadap crowdfunding ekuitas di Indonesia. Dalam artikel diskusi tentang industri crowdfunding, Sindonews menyebut bahwa isu Santara menjadi salah satu pemicu menurunnya minat masyarakat karena khawatir terhadap transparansi dan keamanan investasi. 

Secara historis, Santara memang memiliki izin resmi dari OJK sejak 2019, dan menjadi platform equity crowdfunding pertama mendapatkan izin penuh. 

Namun, legalitas saja tidak cukup menjamin kepercayaan jika operasional dan tata kelola internal tidak dikelola dengan disiplin.


Ada risiko bahwa penerbit bisnis UKM mengalami kesulitan operasional, pertumbuhan tidak sesuai harapan, atau bahkan rugi — dan itu bisa berdampak langsung pada dividen yang didapat pemodal. Selain itu, likuiditas di platform equity crowdfunding umumnya jauh lebih rendah ketimbang bursa saham konvensional, sehingga menjual kembali saham yang dimiliki bisa tidak mudah.

Sisi regulasi juga membawa tantangan. Meskipun Santara sudah berizin OJK, beberapa riset akademis menunjukkan bahwa perlindungan hukum dalam bentuk sanksi berat untuk pelanggaran masih terbatas. Sebuah kajian hukum menyebut bahwa peraturan OJK bersifat umum dan belum memberikan penalti pidana yang kuat jika terjadi manipulasi data atau penyalahgunaan dana.

Hal ini menjadi perhatian karena pemodal Equity Crowdfunding)menaruh kepercayaan besar pada platform untuk memilih penerbit bisnis yang matang, dan jika manajemen atau operasional penerbit tidak transparan, risiko kerugian bisa lebih tinggi.

Secara data, Santara telah mencatatkan pencapaian cukup signifikan. Menurut laporan, hingga beberapa tahun lalu Santara sudah menghimpun dana puluhan miliar rupiah dari pemodal untuk didistribusikan ke puluhan UKM. 

Tentu, ada kritik dari para pengguna atau pemodal di ruang publik. Di forum investasi online misalnya, beberapa investor menyatakan kekhawatiran soal likuiditas pasar sekunder Santara. 

Ada juga yang menyebut bahwa laporan bisnis penerbit kadang tidak setransparan seperti di bursa saham besar, sehingga pemodal perlu benar-benar membaca prospektus dan memahami risiko sebelum berinvestasi. 

Tapi di balik kritik tersebut, peran Santara sebagai jembatan modal UKM tetap sangat strategis. Di Indonesia, banyak bisnis skala kecil-menengah yang sulit mendapat pinjaman bank atau akses ekuitas tradisional. 


Masalah Santara, mulai dari sanksi OJK, tata kelola yang dipertanyakan, keterbatasan likuiditas, hingga transparansi laporan keuangan, menunjukkan bahwa platform urun dana bukanlah jalan bebas risiko. Bagi investor yang tertarik menggunakan Santara, penting untuk benar-benar memahami struktur usaha yang dibiayai, menelaah prospektus dengan seksama, dan realistis terhadap risiko UKM. Sementara itu, bagi regulator dan penyelenggara, kasus Santara menjadi pengingat: inovasi keuangan harus selalu diiringi dengan tata kelola yang kuat dan perlindungan investor yang konkret agar ekosistem crowdfunding bisa tumbuh sehat dan berkelanjutan.

Tuesday, November 18, 2025

Die With Zero

Hidup Tanpa Penyesalan dan Menghabiskan Waktu, Bukan Sekadar Mengumpulkan Uang

Konsep Die With Zero mengguncang cara berpikir banyak orang tentang uang, tabungan, dan tujuan hidup. Selama ini, kita selalu diajarkan untuk menabung sebanyak mungkin, menunda kesenangan, dan mempersiapkan masa depan dengan sangat hati-hati hingga kadang lupa menikmati masa kini. Namun, buku Die With Zero karya Bill Perkins menghadirkan filosofi yang menantang pola pikir tradisional itu. Intinya sederhana namun radikal: hidup ini lebih dari sekadar menumpuk uang—ini tentang memaksimalkan pengalaman, hubungan, dan kenangan sebelum waktu kita habis.

Die with zero mengusung filosofi untuk memaksimalkan pengalaman hidup dengan menggunakan kekayaan untuk menciptakan kenangan berharga selagi masih hidup dan sehat, bukannya menabung secara berlebihan untuk masa depan yang tidak pasti. Intinya, Anda harus menghabiskan uang untuk pengalaman hidup dan kebahagiaan, bukan hanya mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin untuk diwariskan. 

Dalam buku ini, Perkins mengemukakan gagasan penting tentang Zero Line, yaitu titik di mana kita telah menggunakan semua kekayaan kita sebelum meninggal dunia. Dia mengajak kita untuk mempertanyakan konsep tradisional tentang pensiun dan mengajarkan cara mengalokasikan sumber daya kita dengan bijaksana untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara menghabiskan, menikmati, dan meninggalkan warisan.

Pada intinya, Die With Zero bukan mengajak kita menjadi boros atau menghambur-hamburkan uang. Bukan. Filosofinya adalah menggunakan uang secara sadar untuk menciptakan pengalaman yang paling berharga sesuai usia dan fase hidup, sehingga ketika kita tua nanti, kita tidak hanya kaya secara materi, tetapi kaya dalam memori, relasi, dan kepuasan hidup. Bill Perkins menekankan bahwa setiap momen memiliki expiration date, dan beberapa pengalaman tidak bisa dibeli saat tua. Contohnya, perjalanan backpacking mungkin ideal di usia 20-an, tetapi hampir mustahil dinikmati dengan energi yang sama di usia 70-an.

Konsep ini juga menegaskan bahwa menunda kebahagiaan terlalu lama adalah bentuk kerugian yang tidak terlihat. Banyak orang bekerja keras, menyimpan uang, dan terus menunda kesenangan demi “nanti”—nanti ketika pensiun, nanti ketika anak besar, nanti ketika sudah kaya. Padahal, “nanti” tidak pernah benar-benar datang. Ada yang akhirnya meninggal dengan tabungan besar, tetapi sedikit kenangan dan banyak penyesalan. Die With Zero mengajak kita membalik pendekatan ini: bukan menabung sebanyak mungkin sepanjang hidup, melainkan merencanakan penggunaan uang sehingga setiap fase hidup mendapatkan pengalaman terbaiknya.

Di sisi lain, konsep ini juga berbicara tentang nilai waktu. Waktu adalah aset yang terus menyusut. Tidak seperti uang yang bisa dicari lagi, waktu yang hilang tidak bisa ditambah. Setiap detik yang lewat adalah detik yang tidak akan kembali. Karena itu, Die With Zero mengajak kita menyeimbangkan antara bekerja keras dan menikmati hidup. Bukan berarti berhenti bekerja, tetapi bekerja dengan sadar bahwa tujuan akhir bukanlah saldo bank yang menggunung, melainkan hidup yang penuh cerita. Uang hanya alat, bukan tujuan.

Bill Perkins juga menekankan pentingnya memberi ketika masih hidup, bukan menunggu sampai mati. Banyak orang menunda memberi kepada anak, keluarga, atau orang lain hingga warisan dibagikan. Padahal, manfaat terbesar dari bantuan sering kali justru dibutuhkan saat seseorang masih muda dan sedang membangun hidupnya. Memberi lebih awal memungkinkan orang di sekitar kita mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk berkembang. Ini bukan hanya soal uang, tetapi tentang dampak, manfaat sosial, dan warisan yang kita tinggalkan lewat kehidupan yang kita jalani.

Namun tentu saja, konsep “Die With Zero” bukan berarti hidup tanpa rencana. Justru buku ini mendorong kita merencanakan hidup secara lebih cerdas, dengan membagi pengalaman dan konsumsi ke dalam kurva umur yang tepat. Kita tetap perlu dana darurat, asuransi kesehatan, dan tabungan pensiun. Tetapi yang berubah adalah tujuannya: bukan untuk mati dengan uang paling banyak, melainkan mati tanpa menyesal. Yang terpenting dari filosofi ini adalah perencanaan, bukan impulsivitas.

Inti filosofi Die with zero, adalah:

Fokus pada pengalaman: Prioritaskan pencarian pengalaman berharga dan momen-momen tak terlupakan dalam hidup Anda, bukan sekadar menimbun uang.

Menghabiskan uang saat sehat: Dorong diri untuk menggunakan sumber daya finansial Anda untuk menikmati hidup selagi Anda sehat dan mampu, daripada menunda kesenangan demi masa depan.

Menemukan tingkat kepuasan: Buku ini mengajarkan cara mengoptimalkan hidup Anda tahap demi tahap untuk menikmati apa yang telah Anda tabung dan kerjakan, dengan mempertimbangkan kurva kekayaan bersih dan kurva pemenuhan.

Menghindari penyesalan: Tujuannya adalah untuk hidup dengan nol penyesalan, di mana Anda merasa telah mendapatkan yang terbaik dari hidup Anda dengan menggunakan uang Anda secara bijak untuk kebahagiaan. 

Pada akhirnya, Die With Zero adalah ajakan untuk hidup lebih penuh, lebih sadar, dan lebih berani. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang menikmati, mencoba, merasakan, dan meninggalkan jejak berupa kenangan indah. Ketika kita melihat ke belakang di usia tua nanti, pertanyaannya bukanlah “Berapa banyak uang yang saya miliki?” melainkan “Berapa banyak kehidupan yang saya alami?”

Dan jika kita berhasil menjalankan prinsip ini dengan bijaksana, kita bisa mencapai tujuan terbesar yang ingin dicapai buku ini: menutup hidup dengan hati yang tenang, tanpa penyesalan, dan tanpa meninggalkan harta yang sebenarnya lebih baik digunakan saat kita masih hidup.

Saturday, November 8, 2025

Menggaji Diri Sendiri 10%

Menggaji Diri Sendiri 10%

Kunci Kebebasan Finansial yang Sering Diabaikan

Kebanyakan orang bekerja keras setiap hari untuk mencari uang — tapi ironisnya, sangat sedikit yang benar-benar membayar diri sendiri dari hasil kerja keras itu. Mereka bekerja untuk membayar tagihan, cicilan, kebutuhan keluarga, bahkan untuk gaya hidup, namun lupa menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk diri mereka sendiri di masa depan. Padahal, prinsip dasar dalam membangun kekayaan bukanlah seberapa besar uang yang kamu hasilkan, melainkan seberapa besar yang kamu simpan dan kelola dengan disiplin.


Inilah makna sejati dari konsep “menggaji diri sendiri 10%.”

Sederhana, tapi revolusioner. Artinya, dari setiap penghasilan yang kamu terima — gaji, bonus, proyek, atau keuntungan bisnis — 10% harus langsung kamu sisihkan untuk dirimu sendiri, sebelum kamu membayar siapa pun atau apa pun.

Bukan untuk dibelanjakan, bukan untuk diboroskan, tapi untuk disimpan dan diinvestasikan sebagai pondasi kebebasan finansialmu di masa depan.


Bayar Diri Sendiri Dulu, Baru Orang Lain

Kebanyakan orang melakukan hal yang terbalik. Begitu gaji masuk, mereka langsung membayar semua kebutuhan: listrik, cicilan, transportasi, makan, nongkrong, dan lain-lain. Lalu di akhir bulan, ketika dompet menipis, barulah mereka berkata, “Kalau ada sisa, baru saya menabung.”

Masalahnya, uang sisa hampir tidak pernah ada. Karena kebutuhan manusia — atau lebih tepatnya keinginan manusia — tidak ada habisnya.

Di sinilah rahasia kecil yang membedakan antara mereka yang kaya dan mereka yang terus berputar di roda finansial yang sama: orang kaya membayar diri sendiri dulu, orang biasa membayar orang lain dulu.

Ketika kamu menggaji dirimu sendiri terlebih dahulu, kamu sedang menempatkan masa depanmu di posisi prioritas. Kamu sedang berkata pada dirimu sendiri: “Saya layak mendapatkan bagian dari hasil kerja keras saya.”


Menggaji Diri Sendiri Itu Disiplin, Bukan Jumlah

Banyak yang berkata, “Saya belum bisa menabung, penghasilan saya masih kecil.”

Padahal, prinsip menggaji diri sendiri 10% bukan soal besar kecilnya nominal, tapi soal disiplin dan kebiasaan.

Jika kamu tidak bisa menyisihkan 10% saat berpenghasilan Rp3 juta, kamu juga tidak akan bisa melakukannya saat berpenghasilan Rp30 juta — karena masalahnya bukan di uang, tapi di kontrol diri.


Mulailah dari kecil, tapi rutin. Sisihkan 10% dari setiap penghasilan, bahkan sebelum kamu menyentuhnya untuk kebutuhan lain.

Lama-kelamaan, kebiasaan ini akan menjadi otot finansial yang kuat.

Dan ketika uang yang kamu simpan mulai tumbuh — entah dari bunga, investasi, atau akumulasi waktu — kamu akan menyadari betapa besar dampak dari kebiasaan kecil ini terhadap rasa aman finansialmu.


Uang yang Disimpan Adalah Pelayanmu, Bukan Sebaliknya

Dalam buku klasik The Richest Man in Babylon, ada kalimat terkenal:

“Make your gold multiply. Let your money work for you.”

(Biarkan uangmu bekerja untukmu.)

Setiap kali kamu menggaji dirimu sendiri 10%, uang itu tidak seharusnya diam di tabungan saja. Ia harus dikerahkan untuk bekerja.

Bisa dalam bentuk investasi yang aman — seperti emas, reksa dana, deposito, atau aset produktif lainnya. Karena uang yang hanya disimpan tanpa berkembang, akan tergerus inflasi.

Namun, uang yang kamu investasikan dengan cerdas akan tumbuh perlahan seperti benih yang ditanam dan disiram setiap bulan. Dalam beberapa tahun, tanpa terasa, hasilnya bisa membiayai impianmu, bahkan memberi penghasilan pasif tanpa harus bekerja keras seperti sekarang.


Menjadi Bos untuk Uangmu Sendiri

Menggaji diri sendiri 10% juga berarti mengambil kendali atas keuanganmu.

Sebagian besar orang bekerja untuk uang, tapi hanya sedikit yang menjadikan uang bekerja untuk mereka.

Mereka membiarkan uang datang dan pergi tanpa arah, tanpa sistem, tanpa visi. Akibatnya, setiap kali ada krisis — entah ekonomi, PHK, atau kebutuhan darurat — mereka langsung panik karena tidak punya cadangan.

Tapi orang yang menggaji dirinya sendiri setiap bulan, pelan-pelan membangun pondasi kebebasan finansial.

Ia punya dana darurat, tabungan investasi, dan rasa tenang. Ia tahu bahwa setiap kali ia bekerja, sebagian hasil kerja keras itu langsung dikonversi menjadi masa depan yang lebih aman.

Ia bukan hanya pekerja bagi uang, tapi pemimpin bagi uangnya sendiri.


10% Itu Bukan Beban, Tapi Tiket Menuju Kebebasan

Banyak orang merasa berat menyisihkan 10% karena merasa “masih banyak kebutuhan.” Tapi justru itulah inti dari pelajaran ini — kamu tidak akan pernah siap, kalau tidak memulai.

Menabung bukanlah sisa dari hidup, melainkan bagian dari strategi hidup.

Dan ironisnya, semakin cepat kamu belajar menggaji dirimu sendiri, semakin cepat pula kamu terbebas dari tekanan finansial.

Karena setiap 10% yang kamu simpan hari ini adalah versi dirimu di masa depan yang berterima kasih.

Suatu hari nanti, ketika kamu menghadapi situasi sulit, atau ingin berhenti sejenak untuk beristirahat, atau ingin memulai bisnis baru, kamu akan berkata dalam hati:

“Untung dulu saya menggaji diri saya sendiri.”


Kamu Layak Digaji oleh Dirimu Sendiri

Konsep menggaji diri sendiri 10% mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya luar biasa besar jika dijalankan dengan disiplin.

Ia mengajarkan tanggung jawab, prioritas, dan penghargaan terhadap diri sendiri.

Karena pada akhirnya, orang lain boleh menggajimu, tapi masa depanmu tetap tanggung jawabmu.

Jadi, mulai sekarang — setiap kali gaji masuk, sisihkan dulu 10% untuk dirimu sendiri.

Anggap itu gaji dari masa kini untuk masa depanmu.

Jangan tunggu nanti, jangan tunggu “kalau sudah cukup.” Karena cukup tidak akan pernah datang bagi mereka yang tidak memulainya hari ini.

Tuesday, October 28, 2025

Mengapa UMR Semakin Naik Tapi Tetap Saja Kurang?

Setiap tahun, pemerintah daerah di seluruh Indonesia mengumumkan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Di atas kertas, angka UMR memang terus bertambah — dari tahun ke tahun, nominal gaji minimum naik mengikuti inflasi dan kebutuhan hidup layak. Namun, realitas di lapangan berkata lain. Banyak pekerja mengeluh bahwa meskipun gaji naik, uang terasa makin tidak cukup, bahkan sebagian besar terpaksa mencari pekerjaan sampingan untuk menutupi kebutuhan hidup. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kenaikan gaji tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kesejahteraan?


Kenaikan UMR yang Tidak Mengejar Kenaikan Harga Barang

Masalah utamanya adalah bahwa kenaikan UMR tidak pernah mampu mengejar kenaikan biaya hidup yang sebenarnya.

Inflasi memang menjadi alasan utama di balik penyesuaian upah, namun inflasi yang dicatat oleh pemerintah sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan kenaikan biaya hidup di lapangan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung.

Harga sewa rumah, bahan makanan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan meningkat jauh lebih cepat dibanding kenaikan gaji. Jika gaji naik 6% per tahun, tapi biaya hidup naik 10%–12%, maka secara riil daya beli pekerja justru menurun. Akibatnya, meskipun nominal gaji terlihat lebih besar, nilai sebenarnya (purchasing power) justru makin kecil.

Inilah yang disebut sebagai inflasi gaya hidup tersembunyi — ketika kebutuhan sehari-hari naik perlahan, tapi pasti, membuat gaji terasa seperti pasir di genggaman: semakin erat dipegang, semakin cepat habis.


Kebiasaan Konsumtif dan Gaya Hidup Digital

Selain faktor ekonomi makro, ada pula faktor sosial dan perilaku yang turut memperparah kondisi ini.

Kehidupan modern yang serba digital mendorong budaya konsumtif yang sulit dihindari. Media sosial menampilkan gaya hidup orang lain yang tampak ideal — makan di restoran, jalan-jalan ke luar kota, memakai gadget terbaru, hingga pakaian bermerek. Semua itu menciptakan tekanan sosial yang halus namun kuat: kita merasa harus ikut agar tidak “ketinggalan zaman.”

Banyak pekerja akhirnya menggunakan sebagian besar gajinya untuk memenuhi gaya hidup konsumtif alih-alih kebutuhan dasar. Ditambah lagi, kemudahan akses terhadap kredit, paylater, dan pinjaman online membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran utang konsumtif.

Mereka bisa membeli sekarang, tapi membayar nanti — dan saat tagihan datang, barulah terasa bahwa gaji tak cukup lagi.

Kondisi ini membuat kenaikan UMR seolah tidak ada artinya, karena pendapatan tambahan justru terserap untuk membayar cicilan dan bunga utang konsumtif.


Biaya Hidup di Kota Besar yang Mencekik

Kenaikan UMR sering kali hanya terlihat signifikan di atas kertas, namun tidak mencukupi ketika dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup di wilayah perkotaan.

Misalnya, UMR Jakarta tahun 2025 sekitar Rp5,3 juta. Sekilas angka ini cukup besar dibanding daerah lain, tapi coba dihitung: biaya kos di Jakarta minimal Rp1,5 juta–Rp2 juta per bulan, transportasi Rp600 ribu–Rp1 juta, makan tiga kali sehari bisa mencapai Rp2 juta, belum termasuk pulsa, listrik, air, dan kebutuhan pribadi lainnya.

Totalnya bisa mencapai lebih dari Rp5 juta per bulan, tanpa ada ruang untuk menabung, berinvestasi, atau membantu keluarga di kampung. Akhirnya, banyak pekerja merasa tidak punya pilihan selain mengambil pekerjaan tambahan — menjadi driver online, berjualan daring, atau freelancer di malam hari.

Fenomena ini bukan sekadar soal malas menabung, tetapi karena struktur biaya hidup perkotaan yang tidak sebanding dengan tingkat pendapatan.


Produktivitas Tidak Bertumbuh Seiring Kenaikan Upah

Ada pula masalah fundamental di sisi ekonomi makro: kenaikan upah tidak selalu diiringi dengan kenaikan produktivitas.

Dalam teori ekonomi, gaji seharusnya naik karena produktivitas naik — artinya, pekerja menghasilkan lebih banyak nilai bagi perusahaan. Namun di Indonesia, sering kali upah naik karena regulasi, bukan karena peningkatan output kerja.

Akibatnya, perusahaan kesulitan menanggung biaya tenaga kerja yang meningkat tanpa peningkatan efisiensi. Untuk menekan beban, mereka melakukan efisiensi, seperti mengurangi bonus, lembur, atau bahkan melakukan outsourcing dan kontrak jangka pendek.

Hasilnya? Pekerja memang mendapat gaji yang lebih tinggi di atas kertas, tapi kehilangan stabilitas dan tunjangan jangka panjang.

Kondisi ini menciptakan siklus yang stagnan: gaji naik, harga naik, tapi kesejahteraan tidak ikut naik.


Kurangnya Literasi Keuangan di Kalangan Pekerja

Faktor penting lainnya yang jarang dibahas adalah literasi keuangan yang rendah.

Banyak pekerja belum memahami pentingnya mengatur arus kas pribadi, membuat anggaran, atau menabung secara rutin. Sebagian besar masih berpikir pendek: uang gaji digunakan untuk kebutuhan bulan ini, tanpa perencanaan jangka panjang.

Padahal, sekalipun gaji terbatas, disiplin finansial dapat memperpanjang daya tahan ekonomi pribadi.

Menabung 10% dari gaji setiap bulan, menghindari utang konsumtif, dan berinvestasi secara rutin dengan strategi sederhana seperti Dollar Cost Averaging (DCA) bisa membuat kondisi keuangan jauh lebih stabil di masa depan.

Tanpa pengelolaan yang baik, seberapa pun gaji naik, hasilnya akan sama: cepat habis, dan hidup terasa berat.


Solusi: Dari Bertahan ke Berkembang

Masalah gaji dan kesejahteraan tidak bisa hanya diselesaikan dengan menaikkan UMR.

Diperlukan pendekatan menyeluruh, baik dari pemerintah, perusahaan, maupun individu.

Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga bahan pokok dan transportasi publik agar daya beli tidak terkikis. Perusahaan perlu membangun budaya produktivitas dan efisiensi, bukan sekadar menaikkan upah.

Namun di sisi individu, solusi paling realistis adalah mengubah mindset dari bertahan menjadi berkembang.

Artinya, jangan hanya mengandalkan satu sumber penghasilan. Di era digital, banyak peluang untuk membangun pendapatan tambahan tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama — mulai dari jualan online, menjadi content creator, freelancer, hingga investasi kecil-kecilan di reksa dana atau emas.

Selain itu, penting pula untuk meningkatkan keterampilan (upskilling) agar nilai diri di pasar kerja meningkat. Dengan skill yang lebih baik, seseorang bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih tinggi tanpa harus terjebak di level UMR selamanya.


Gaji Naik Tak Akan Cukup Jika Pola Hidup Tak Berubah

Kenaikan UMR memang penting, tapi ia bukan solusi tunggal.

Selama inflasi tetap tinggi, biaya hidup terus naik, gaya hidup konsumtif tak terkendali, dan literasi keuangan rendah, maka kenaikan gaji hanya akan menambal luka sementara.

Masalah kesejahteraan sejati hanya bisa diselesaikan jika masyarakat memiliki kesadaran finansial — memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan, menabung lebih awal, dan membangun aset produktif.

Karena pada akhirnya, bukan seberapa besar gaji yang kita terima, tapi seberapa bijak kita mengelolanya yang menentukan apakah hidup akan terus kekurangan atau perlahan menuju kebebasan finansial.

Related Posts