Wednesday, August 20, 2025

Why We Make Bad Financial Choices

Mengapa Kita Membuat Pilihan Finansial yang Buruk

Dalam dunia ideal, setiap keputusan finansial seharusnya dibuat secara rasional. Kita menghitung untung rugi, menimbang risiko dan imbal hasil, lalu mengambil keputusan yang paling logis. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Banyak orang justru terjebak dalam pola pikir yang tidak rasional—menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak mereka butuhkan, berutang demi gaya hidup, atau gagal menabung meski tahu pentingnya persiapan masa depan. Fenomena inilah yang menjadi fokus behavioral economics, sebuah bidang ilmu yang menggabungkan psikologi dengan ekonomi untuk memahami mengapa manusia sering membuat keputusan finansial yang buruk.

Behavioral economics adalah studi psikologi yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan ekonomi pada individu maupun institusi. Teori ini ada untuk menganalisis keputusan ekonomi manusia yang dianggap tidak logis dan tidak mengikuti prediksi model ekonomi.

Salah satu contoh perilaku irasonal tersebut yang kerap digunakan sebagai contoh adalah berjudi. Dalam kegiatan tersebut, biasanya sang pemain rela mempertaruhkan jumlah uangnya lebih banyak di putaran berikutnya terlepas dari menang atau kalahnya ia di putaran sebelumnya.

Padahal, secara logika, sang pemain semestinya akan mempertaruhkan uang lebih banyak di babak berikutnya jika ia memenangkan babak sebelumnya. Begitu pun sebaliknya.

Salah satu penyebab utama kesalahan dalam keputusan finansial adalah bias kognitif. Otak manusia memiliki kecenderungan untuk mencari jalan pintas mental dalam mengambil keputusan, yang sering kali menyesatkan. Contohnya adalah present bias, yaitu kecenderungan untuk lebih menghargai kepuasan saat ini dibandingkan keuntungan jangka panjang. Itulah mengapa banyak orang memilih berbelanja impulsif atau menggunakan kartu kredit untuk kesenangan sesaat, meskipun konsekuensi jangka panjangnya adalah utang menumpuk. Logikanya sederhana: masa depan terasa jauh, sementara kesenangan saat ini terasa nyata.

Present bias dalam keuangan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk lebih memprioritaskan kepuasan atau manfaat jangka pendek daripada keuntungan jangka panjang, terutama dalam hal keuangan. Hal ini dapat menyebabkan keputusan keuangan yang kurang optimal, seperti boros dalam pengeluaran saat ini dan mengabaikan tabungan atau investasi untuk masa depan. 

Selain itu, ada overconfidence bias, yaitu keyakinan berlebihan pada kemampuan diri. 

Overconfidence bias dalam konteks keuangan adalah kecenderungan seseorang untuk melebih-lebihkan kemampuannya, pengetahuan, atau keterampilan mereka dalam pengambilan keputusan keuangan, terutama dalam investasi. Hal ini dapat menyebabkan individu mengambil risiko yang tidak perlu, membuat keputusan investasi yang buruk, dan pada akhirnya merugikan kinerja keuangan mereka. 

Banyak investor pemula percaya bahwa mereka bisa mengalahkan pasar dengan cepat, sehingga mengambil risiko besar tanpa analisis mendalam. Hasilnya, alih-alih mendapat keuntungan, mereka sering kali mengalami kerugian besar. Bias ini juga muncul dalam bentuk ilusi kontrol, ketika seseorang merasa yakin bisa mengendalikan sesuatu yang sebenarnya penuh ketidakpastian, seperti fluktuasi harga saham atau nilai tukar mata uang.

Fenomena lain yang membuat keputusan finansial menjadi buruk adalah loss aversion atau keengganan menerima kerugian. 

Perilaku loss aversion merupakan sebuah sikap seorang investor yang merasakan rasa sakit lebih tinggi saat kehilangan atau mengalami sebuah kerugian atas modal yang dimiliki dibandingkan dengan mendapatkan keuntungan dalam besaran yang sama.

Dalam banyak penelitian, manusia lebih takut kehilangan Rp100 ribu daripada gembira mendapatkan Rp100 ribu. Hal ini membuat investor enggan menjual saham yang nilainya turun, dengan harapan harga akan kembali naik, meskipun secara fundamental perusahaan tersebut sudah bermasalah. Keputusan yang didorong oleh emosi ini akhirnya membuat kerugian menjadi lebih besar.

Tak hanya dalam investasi, behavioral economics juga menjelaskan pola konsumsi sehari-hari. Misalnya, banyak orang terjebak dalam anchoring bias, yaitu kecenderungan terpaku pada informasi awal yang mereka terima. 

Anchoring Bias menyebabkan hasil investasi kita kurang maksimal, karena investor cenderung bergantung pada informasi awal yang diterima sehingga sehingga menyulitkan untuk membuat penilaian objektif dan akurat. 

Saat melihat label diskon “70% off”, konsumen sering merasa mendapatkan penawaran luar biasa murah, padahal harga asli sudah dinaikkan lebih dulu. Begitu pula dengan social proof, di mana seseorang mengikuti perilaku orang lain karena takut tertinggal tren. Hal inilah yang membuat banyak orang membeli barang mewah atau mengikuti gaya hidup tertentu, bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin diakui secara sosial.

Sementara itu, faktor emosional juga memainkan peran besar. Stress, rasa takut, atau euforia dapat memengaruhi keputusan finansial seseorang. Dalam kondisi tertekan, banyak orang justru melakukan retail therapy—berbelanja untuk menghibur diri, meski kemudian menyesal karena pengeluaran membengkak. 

Retail therapy, dalam konteks keuangan, mengacu pada praktik berbelanja untuk meningkatkan suasana hati atau mengatasi perasaan negatif seperti stres atau kesedihan. Meskipun dapat memberikan kelegaan sementara, retail therapy juga bisa berdampak negatif pada keuangan jika tidak dikelola dengan bijak. 

Di sisi lain, dalam situasi euforia, seperti ketika harga aset digital naik drastis, banyak investor tergoda untuk masuk tanpa perhitungan. Padahal, keputusan berdasarkan emosi sesaat hampir selalu berakhir dengan kerugian.

Mengapa kita sulit menghindari kesalahan ini? Salah satu jawabannya adalah keterbatasan kapasitas otak manusia dalam memproses informasi kompleks. Keuangan, apalagi investasi, sering kali melibatkan data rumit, probabilitas, dan proyeksi jangka panjang. Akibatnya, kita lebih mengandalkan insting atau mental shortcut yang sederhana. 

Dalam konteks keuangan, "mental shortcut" mengacu pada cara berpikir cepat dan tidak selalu akurat yang digunakan individu untuk membuat keputusan finansial. Ini seringkali melibatkan penggunaan aturan praktis atau heuristik yang dapat mengarah pada bias dan kesalahan dalam pengambilan keputusan. 

Di sinilah pentingnya edukasi finansial dan nudging—strategi kecil yang mendorong orang untuk membuat pilihan lebih baik. 

Nudging dalam konteks keuangan merujuk pada penggunaan prinsip-prinsip psikologi perilaku untuk secara halus mempengaruhi keputusan keuangan individu agar mereka membuat pilihan yang lebih baik, tanpa menghilangkan kebebasan mereka untuk memilih. Ini bukan tentang memaksa atau melarang, tetapi tentang merancang lingkungan atau pilihan yang membuat pilihan yang lebih baik menjadi lebih mudah dan lebih menarik. 

Misalnya, perusahaan bisa secara otomatis mendaftarkan karyawan ke dalam program pensiun (dengan opsi keluar jika tidak mau). Studi menunjukkan langkah sederhana ini secara signifikan meningkatkan jumlah orang yang menabung untuk masa depan.

Pada akhirnya, behavioral economics mengingatkan kita bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya rasional. Kita dipengaruhi oleh bias, emosi, lingkungan sosial, dan persepsi yang terbatas. Kesadaran akan kelemahan ini adalah langkah awal untuk memperbaiki cara kita mengelola keuangan. Dengan memahami mengapa kita sering membuat pilihan yang buruk, kita bisa merancang strategi yang lebih cerdas—mulai dari menahan diri dari godaan konsumsi impulsif, menetapkan tujuan finansial jangka panjang, hingga menggunakan sistem otomatisasi dalam menabung atau berinvestasi. Seperti kata pepatah, “kesalahan terbesar bukanlah jatuh, tapi tidak belajar dari jatuhnya.”


Sumber :

https://pluang.com/blog/glossary/behavioral-economics-adalah

https://moduit.id/en/article/anchoring-bias

No comments:

Post a Comment

Related Posts