Tuesday, August 26, 2025

Krisis Ekonomi Seperti Badai

Krisis Seperti Badai, Kita Tidak Bisa Mengendalikannya, Tapi Kita Bisa Memperkuat Kapal Kita Agar Tidak Tenggelam

Krisis, dalam bentuk apa pun, selalu datang seperti badai. Tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar memprediksi kapan ia muncul atau seberapa besar dampaknya. Kadang ia datang pelan, memberi tanda-tanda kecil sebelum benar-benar mengamuk. Namun, sering kali krisis hadir mendadak, mengguncang fondasi yang kita anggap kokoh. Dari resesi ekonomi, pandemi global, hingga perubahan drastis dalam bisnis dan kehidupan sehari-hari, krisis adalah pengingat bahwa dunia tidak selalu berjalan sesuai rencana. Sama seperti badai di lautan, kita tidak bisa mengendalikan arah angin atau gelombang besar yang datang, tapi kita bisa memutuskan bagaimana cara memperkuat kapal kita agar tidak tenggelam.

Dalam konteks bisnis dan keuangan, kapal itu adalah diri kita, keluarga kita, serta sistem yang kita bangun. Perusahaan yang tampak kuat pun bisa goyah ketika badai menghantam, jika fondasinya rapuh. Begitu pula dengan individu—mereka yang tampak tenang dari luar bisa runtuh jika tidak memiliki daya tahan mental maupun finansial. Oleh sebab itu, tantangan sebenarnya bukanlah menghindari badai, melainkan bagaimana mempersiapkan kapal agar cukup tangguh melewati gelombang tinggi. Persiapan itulah yang menentukan apakah kita akan keluar dari krisis sebagai korban atau sebagai penyintas yang lebih kuat.

Salah satu cara memperkuat kapal adalah dengan membangun cadangan keuangan. Krisis sering kali membawa ketidakpastian penghasilan, kenaikan harga, atau bahkan kehilangan pekerjaan. Mereka yang memiliki dana darurat, meski sederhana, ibarat memiliki jangkar kuat yang mencegah kapal hanyut begitu saja. Selain itu, strategi diversifikasi aset juga menjadi bentuk lain dari penguatan kapal. Menaruh semua harapan pada satu sumber penghasilan atau satu jenis investasi ibarat berlayar dengan perahu tanpa sekoci cadangan. Ketika badai datang, kehilangan satu bagian bisa berarti kehilangan segalanya.

Namun, memperkuat kapal tidak hanya soal finansial. Aspek mental dan emosional juga sama pentingnya. Krisis kerap membawa rasa takut, panik, bahkan putus asa. Di sinilah ketahanan psikologis memainkan peran besar. Individu dan organisasi yang mampu menjaga ketenangan, berpikir jernih, dan mengambil keputusan rasional, lebih mungkin bertahan. Seperti kapten kapal yang tetap tenang di tengah badai, ketenangan kita akan menular pada orang-orang di sekitar, memberi mereka rasa aman untuk terus berjuang bersama.

Selain itu, krisis juga menuntut kita memiliki sistem yang fleksibel. Kapal yang kaku dan tidak bisa menyesuaikan arah layar lebih mudah hancur diterjang angin. Begitu juga bisnis atau individu yang enggan beradaptasi dengan perubahan. Pandemi COVID-19 misalnya, menunjukkan bahwa mereka yang cepat beralih ke digital, mengubah model bisnis, atau mencari sumber penghasilan baru, justru bisa bertahan bahkan tumbuh. Fleksibilitas adalah layar yang memungkinkan kapal tetap bergerak, meski arah angin tidak sesuai harapan.

Yang tidak kalah penting adalah kolaborasi. Tidak ada kapal yang benar-benar berlayar sendirian. Dalam situasi sulit, jejaring sosial, komunitas, dan kerja sama menjadi pelampung yang menjaga kita tetap mengapung. Badai mungkin memisahkan kita dari jalur yang biasa, tapi dengan bantuan sesama, kita bisa menemukan arah baru. Krisis sering kali memperlihatkan kekuatan gotong royong, solidaritas, dan rasa kemanusiaan yang menjadi bahan bakar moral untuk terus melaju.

Akhirnya, setiap badai pada dasarnya akan berlalu. Tidak ada krisis yang berlangsung selamanya, meski dampaknya bisa panjang. Kapal yang bertahan dari badai biasanya keluar lebih kuat, dengan awak yang lebih terlatih dan peta baru untuk perjalanan berikutnya. Demikian pula kita: setiap krisis yang kita lalui adalah kesempatan untuk belajar, memperbaiki kelemahan, dan membangun fondasi lebih kokoh. Badai mungkin menakutkan, tetapi di baliknya ada pelangi yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berhasil melewatinya.

Maka, alih-alih terus bertanya kapan badai berikutnya akan datang, lebih bijak jika kita bertanya: sudah seberapa kuat kapal kita hari ini? Sudahkah kita menyiapkan cadangan, memperbaiki layar, melatih ketahanan mental, dan membangun jejaring? Sebab pada akhirnya, kita tidak bisa mengendalikan badai, tetapi kita bisa memastikan kapal kita cukup tangguh untuk berlayar hingga ke tujuan.


Sebelum Badai Datang, Siapkan Dahulu Pelampungnya

Badai selalu datang tanpa diundang. Kita tidak bisa menentukan kapan ia muncul, seberapa besar kekuatannya, dan ke mana arahnya akan menghantam. Sama halnya dengan krisis dalam hidup maupun bisnis, badai sering kali datang tiba-tiba—entah dalam bentuk masalah finansial, kehilangan pekerjaan, persaingan usaha, atau bahkan guncangan global yang menggoyahkan stabilitas ekonomi. Dalam kondisi seperti itu, yang membedakan siapa yang tenggelam dan siapa yang selamat bukanlah siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih siap. Itulah mengapa pepatah sederhana ini berlaku: sebelum badai datang, siapkan dahulu pelampungnya.

Pelampung di sini adalah simbol dari perlindungan dan cadangan. Dalam kehidupan finansial, pelampung bisa berupa dana darurat yang disiapkan jauh sebelum masalah muncul. Banyak orang baru sadar pentingnya dana darurat setelah mereka benar-benar kehilangan pekerjaan atau menghadapi pengeluaran mendadak yang besar. Padahal, memiliki dana cadangan tiga hingga enam bulan dari biaya hidup adalah salah satu bentuk “pelampung” paling dasar yang bisa menyelamatkan kita dari tenggelam dalam utang atau kepanikan. Sama seperti seorang pelaut yang tidak akan berlayar tanpa pelampung, seharusnya kita juga tidak menjalani hidup tanpa perlindungan finansial.

Selain dana darurat, pelampung lain bisa berupa diversifikasi penghasilan dan investasi. Terlalu bergantung pada satu sumber penghasilan ibarat berlayar dengan satu perahu tanpa sekoci cadangan. Ketika badai menghantam perahu utama, kita tidak punya tempat berlindung. Itulah mengapa membangun sumber penghasilan tambahan—baik dari investasi, bisnis sampingan, atau keterampilan baru—adalah langkah cerdas untuk memperkuat diri. Demikian juga dalam investasi, jangan hanya mengandalkan satu instrumen. Menggabungkan instrumen konservatif seperti emas dengan aset berisiko tinggi seperti saham atau bahkan kripto bisa menjadi cara untuk menjaga keseimbangan antara keamanan dan potensi pertumbuhan.

Namun, pelampung tidak selalu berbentuk materi. Ada juga pelampung non-finansial yang sering kali diabaikan, padahal justru sangat penting. Misalnya, keterampilan yang terus diasah, jejaring sosial yang luas, serta kesehatan mental dan fisik yang terjaga. Seseorang yang sehat, tangguh, dan punya kemampuan adaptasi akan lebih mampu menghadapi badai ketimbang mereka yang rapuh meski memiliki harta berlimpah. Begitu juga dengan relasi dan komunitas. Dalam krisis, dukungan keluarga, teman, atau jaringan bisnis bisa menjadi pelampung yang menjaga kita tetap terapung ketika semua terasa berat.

Pelampung juga berarti rencana darurat dan strategi bertahan. Bisnis yang tahan lama bukanlah bisnis yang kebal dari badai, melainkan yang sudah memikirkan skenario terburuk sebelum badai itu tiba. Misalnya, memiliki rencana kontinjensi jika pasokan terhambat, jika penjualan turun drastis, atau jika pasar berubah mendadak. Begitu pula dalam hidup pribadi, menyiapkan asuransi kesehatan, asuransi jiwa, atau proteksi lainnya adalah bentuk pelampung yang memastikan kita tidak tenggelam dalam biaya tak terduga.

Ironisnya, banyak orang baru berusaha mencari pelampung setelah badai sudah datang. Mereka panik, mengambil keputusan tergesa-gesa, dan akhirnya justru memperparah keadaan. Padahal, pelampung yang disiapkan dengan tenang jauh sebelum krisis jauh lebih efektif daripada pelampung darurat yang dibuat terburu-buru. Inilah esensi dari perencanaan: bukan soal menebak badai, melainkan memastikan kita siap jika badai itu datang.

Pada akhirnya, badai tidak bisa kita hindari, tapi kita bisa memperbesar peluang untuk tetap selamat. Dengan menyiapkan pelampung sejak dini—baik berupa keuangan, keterampilan, kesehatan, maupun dukungan sosial—kita memberi diri kita kesempatan untuk tetap terapung, bahkan mungkin berlayar lebih jauh setelah badai reda. Maka, sebelum badai berikutnya datang, tanyakan pada diri sendiri: sudahkah aku menyiapkan pelampungku?

Sunday, August 24, 2025

Psikologi di Balik Kesalahan Terburuk Anda dalam Mengelola Uang (dan Cara Memperbaikinya)

The Psychology Behind Your Worst Money Mistakes (and How to Fix Them)



Ketika berbicara tentang keuangan pribadi, sering kali kita berpikir bahwa kegagalan finansial disebabkan oleh kurangnya penghasilan atau kondisi ekonomi yang sulit. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak masalah keuangan justru muncul bukan karena angka di rekening, melainkan karena psikologi di balik cara kita mengambil keputusan. Otak manusia tidak selalu bekerja rasional dalam mengelola uang; kita dipengaruhi oleh emosi, kebiasaan, dan bias kognitif yang membuat kita terjebak dalam kesalahan yang sama berulang kali. Memahami psikologi di balik kesalahan finansial adalah langkah awal untuk memperbaikinya.

Psikologi di balik kesalahan pengelolaan uang meliputi bias perilaku seperti penyesalan kerugian (loss aversion) dan bias masa kini (present bias), serta kebiasaan buruk seperti belanja konsumtif, tidak punya anggaran, dan mengabaikan dana darurat. Untuk memperbaikinya, kenali pola emosi Anda saat berhubungan dengan uang, buat anggaran realistis, pisahkan kebutuhan dan keinginan, catat pengeluaran, mulai investasi, siapkan dana darurat, dan jangan ragu berkonsultasi dengan profesional keuangan. 

Salah satu kesalahan terbesar dalam pengelolaan uang adalah pengeluaran impulsif

Pengeluaran impulsif adalah tindakan membeli sesuatu secara spontan dan tiba-tiba, didorong oleh keinginan sesaat atau emosi, tanpa adanya perencanaan atau pertimbangan matang mengenai kebutuhan dan konsekuensinya. Perilaku ini bisa menyebabkan penyesalan, penumpukan barang yang tidak terpakai, bahkan masalah keuangan serius karena tidak sesuai dengan logika atau rencana keuangan jangka panjang. 

Secara psikologis, manusia cenderung mencari kepuasan instan. Inilah yang disebut present bias, yaitu kecenderungan lebih menghargai kenikmatan saat ini dibandingkan manfaat di masa depan. Contohnya sederhana: lebih mudah membeli ponsel terbaru meski masih punya cicilan daripada menunda keinginan demi menabung. Otak kita merespons kesenangan langsung lebih kuat daripada keuntungan jangka panjang. Solusinya adalah menciptakan jeda sebelum membeli—misalnya dengan aturan “24 jam delay”, di mana setiap keputusan pembelian harus ditunda sehari agar kita punya waktu berpikir apakah benar-benar membutuhkannya.

Kesalahan lain yang umum adalah terjebak utang konsumtif. Banyak orang beralasan “nanti bisa dibayar” atau “toh cicilannya ringan”, padahal itu adalah bentuk optimism bias, di mana kita terlalu percaya diri terhadap kemampuan finansial di masa depan. Akibatnya, kartu kredit atau layanan paylater sering menjadi jebakan. 

Untuk terbebas dari utang konsumtif, Anda perlu membuat anggaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, membangun dana darurat, serta menghentikan pinjaman baru. Jika sudah terlilit utang, susun daftar utang, tentukan prioritas pembayaran, cari penghasilan tambahan, atau pertimbangkan untuk menjual aset yang tidak perlu. 

Psikologi di balik hal ini adalah kecenderungan kita meremehkan risiko dan terlalu fokus pada manfaat jangka pendek. Untuk memperbaikinya, penting membangun sistem pengendalian diri, misalnya dengan membatasi jumlah kartu kredit, menghapus metode pembayaran otomatis, atau menetapkan anggaran bulanan yang benar-benar realistis.

Di dunia investasi, kesalahan psikologis juga sering terjadi. Salah satunya adalah fear of missing out (FOMO), ketika kita takut tertinggal peluang sehingga terburu-buru membeli aset yang sedang tren, seperti saham tertentu atau kripto, tanpa analisis. Rasa takut ketinggalan membuat kita lebih mengandalkan emosi daripada logika. 

"Fear of missing out" dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi "takut ketinggalan" atau "FOMO" dalam bahasa Indonesia. Istilah ini merujuk pada perasaan cemas atau khawatir seseorang tidak mengikuti suatu kegiatan, tren, atau pengalaman yang sedang populer atau dianggap penting di lingkungannya. 

Sebaliknya, ada pula loss aversion, yaitu kecenderungan lebih takut rugi daripada bersemangat mendapat untung. Investor sering enggan menjual saham yang merugi karena tidak ingin mengakui kekalahan, padahal menahan terlalu lama bisa memperbesar kerugian. Untuk mengatasinya, penting menetapkan aturan investasi sejak awal, seperti cut loss limit dan take profit target, serta berpegang pada data, bukan perasaan.

Loss aversion adalah sebuah bias kognitif di mana orang lebih merasa sakit secara emosional karena mengalami kerugian dibandingkan dengan kegembiraan yang dirasakan dari keuntungan dengan nilai yang sama. Konsep ini adalah bagian dari Teori Prospek (Prospect Theory) yang dikemukakan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky, yang menjelaskan bahwa orang cenderung lebih bersedia mengambil risiko untuk menghindari kerugian daripada untuk mendapatkan keuntungan. 

Psikologi sosial juga memengaruhi kesalahan finansial. Banyak orang menghabiskan lebih banyak uang demi status sosial dan pengakuan

Status sosial adalah posisi atau kedudukan seseorang di masyarakat, yang menentukan hak, kewajiban, dan lingkup pergaulannya, sementara pengakuan sosial adalah bentuk penghargaan atau penerimaan yang diberikan masyarakat terhadap individu yang menduduki status tertentu tersebut. Status sosial dapat berupa ascribed status (diwariskan, seperti keturunan), achieved status (diraih melalui usaha, seperti pendidikan dan pekerjaan), atau assigned status (diberikan oleh pihak lain sebagai penghargaan atas jasa). 

Fenomena ini dikenal sebagai social proof atau konformitas, di mana kita meniru gaya hidup orang lain agar dianggap “berhasil”. Membeli barang mewah, nongkrong di kafe populer, atau liburan ke destinasi yang sedang tren sering kali bukan karena kebutuhan, melainkan karena dorongan untuk menunjukkan identitas. Sayangnya, hal ini dapat menggerogoti keuangan dalam jangka panjang. Jalan keluarnya adalah mengubah perspektif: keberhasilan sejati bukan diukur dari konsumsi yang terlihat, melainkan dari kesehatan finansial yang stabil.

Selain itu, emosi negatif seperti stres, cemas, atau bosan sering menjadi pemicu kesalahan uang. 

Emosi negatif adalah perasaan tidak menyenangkan atau mengganggu seperti marah, sedih, cemas, benci, iri, dan frustasi yang dialami secara normal sebagai respons terhadap suatu peristiwa. Meskipun emosi ini adalah bagian normal dari kehidupan dan dapat berfungsi sebagai sinyal peringatan, jika tidak dikelola dengan baik, emosi negatif dapat berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik, meningkatkan risiko gangguan kesehatan, serta menghambat kualitas hidup. 

Tidak sedikit orang melakukan retail therapy—berbelanja untuk menghibur diri. Secara psikologis, tindakan ini memang memberi dopamin, hormon kebahagiaan sementara, tetapi efek jangka panjangnya justru penyesalan. Mengelola emosi menjadi kunci agar keputusan finansial lebih sehat. Alih-alih melampiaskan stres dengan belanja, lebih baik mencari pelarian yang lebih sehat dan murah, seperti olahraga, meditasi, atau aktivitas kreatif.

Pada intinya, kesalahan finansial jarang terjadi karena kurangnya pengetahuan. Banyak orang tahu bahwa menabung itu penting, utang konsumtif berbahaya, dan investasi butuh analisis. Namun, mengetahui sesuatu dan benar-benar melakukannya adalah dua hal berbeda. 

Hal ini menekankan perbedaan antara pengetahuan teoretis (mengetahui) dan tindakan praktis (melakukan). Mengetahui suatu konsep tidak otomatis berarti kita mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata, karena ada berbagai hambatan seperti kurangnya motivasi, keterampilan, atau sumber daya yang diperlukan untuk tindakan nyata.

Jurang antara pengetahuan dan tindakan inilah yang disebut intention-action gap. Untuk menutup jurang ini, kita perlu menciptakan sistem yang memudahkan perilaku baik, misalnya dengan menabung otomatis setiap kali gaji masuk, atau memisahkan rekening tabungan dan rekening harian agar uang tidak mudah diakses.

Kesadaran psikologis menjadi fondasi penting untuk memperbaiki keuangan pribadi. 

Kesadaran psikologis keuangan pribadi adalah pemahaman mendalam tentang bagaimana emosi, keyakinan, pengalaman, dan faktor psikologis lainnya memengaruhi keputusan dan perilaku seseorang terhadap uang. Ini mencakup pengenalan pola pikir dan kebiasaan finansial yang sering kali tidak rasional, tujuan untuk mengendalikan diri dari keputusan impulsif, dan kemampuan untuk menetapkan tujuan keuangan yang realistis demi stabilitas finansial jangka panjang. 

Dengan memahami bias, emosi, dan kebiasaan yang sering menjerumuskan, kita bisa merancang strategi pertahanan diri yang lebih kokoh. Tidak ada yang bisa sepenuhnya menghindari kesalahan, tetapi kesalahan terbesar adalah mengulanginya tanpa belajar. Pada akhirnya, kesehatan finansial bukan hanya soal angka, melainkan juga soal kemampuan kita mengendalikan diri, berpikir jangka panjang, dan membentuk kebiasaan yang mendukung masa depan.

Wednesday, August 20, 2025

Why We Make Bad Financial Choices

Mengapa Kita Membuat Pilihan Finansial yang Buruk

Dalam dunia ideal, setiap keputusan finansial seharusnya dibuat secara rasional. Kita menghitung untung rugi, menimbang risiko dan imbal hasil, lalu mengambil keputusan yang paling logis. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Banyak orang justru terjebak dalam pola pikir yang tidak rasional—menghabiskan uang untuk hal-hal yang tidak mereka butuhkan, berutang demi gaya hidup, atau gagal menabung meski tahu pentingnya persiapan masa depan. Fenomena inilah yang menjadi fokus behavioral economics, sebuah bidang ilmu yang menggabungkan psikologi dengan ekonomi untuk memahami mengapa manusia sering membuat keputusan finansial yang buruk.

Behavioral economics adalah studi psikologi yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan ekonomi pada individu maupun institusi. Teori ini ada untuk menganalisis keputusan ekonomi manusia yang dianggap tidak logis dan tidak mengikuti prediksi model ekonomi.

Salah satu contoh perilaku irasonal tersebut yang kerap digunakan sebagai contoh adalah berjudi. Dalam kegiatan tersebut, biasanya sang pemain rela mempertaruhkan jumlah uangnya lebih banyak di putaran berikutnya terlepas dari menang atau kalahnya ia di putaran sebelumnya.

Padahal, secara logika, sang pemain semestinya akan mempertaruhkan uang lebih banyak di babak berikutnya jika ia memenangkan babak sebelumnya. Begitu pun sebaliknya.

Salah satu penyebab utama kesalahan dalam keputusan finansial adalah bias kognitif. Otak manusia memiliki kecenderungan untuk mencari jalan pintas mental dalam mengambil keputusan, yang sering kali menyesatkan. Contohnya adalah present bias, yaitu kecenderungan untuk lebih menghargai kepuasan saat ini dibandingkan keuntungan jangka panjang. Itulah mengapa banyak orang memilih berbelanja impulsif atau menggunakan kartu kredit untuk kesenangan sesaat, meskipun konsekuensi jangka panjangnya adalah utang menumpuk. Logikanya sederhana: masa depan terasa jauh, sementara kesenangan saat ini terasa nyata.

Present bias dalam keuangan merujuk pada kecenderungan seseorang untuk lebih memprioritaskan kepuasan atau manfaat jangka pendek daripada keuntungan jangka panjang, terutama dalam hal keuangan. Hal ini dapat menyebabkan keputusan keuangan yang kurang optimal, seperti boros dalam pengeluaran saat ini dan mengabaikan tabungan atau investasi untuk masa depan. 

Selain itu, ada overconfidence bias, yaitu keyakinan berlebihan pada kemampuan diri. 

Overconfidence bias dalam konteks keuangan adalah kecenderungan seseorang untuk melebih-lebihkan kemampuannya, pengetahuan, atau keterampilan mereka dalam pengambilan keputusan keuangan, terutama dalam investasi. Hal ini dapat menyebabkan individu mengambil risiko yang tidak perlu, membuat keputusan investasi yang buruk, dan pada akhirnya merugikan kinerja keuangan mereka. 

Banyak investor pemula percaya bahwa mereka bisa mengalahkan pasar dengan cepat, sehingga mengambil risiko besar tanpa analisis mendalam. Hasilnya, alih-alih mendapat keuntungan, mereka sering kali mengalami kerugian besar. Bias ini juga muncul dalam bentuk ilusi kontrol, ketika seseorang merasa yakin bisa mengendalikan sesuatu yang sebenarnya penuh ketidakpastian, seperti fluktuasi harga saham atau nilai tukar mata uang.

Fenomena lain yang membuat keputusan finansial menjadi buruk adalah loss aversion atau keengganan menerima kerugian. 

Perilaku loss aversion merupakan sebuah sikap seorang investor yang merasakan rasa sakit lebih tinggi saat kehilangan atau mengalami sebuah kerugian atas modal yang dimiliki dibandingkan dengan mendapatkan keuntungan dalam besaran yang sama.

Dalam banyak penelitian, manusia lebih takut kehilangan Rp100 ribu daripada gembira mendapatkan Rp100 ribu. Hal ini membuat investor enggan menjual saham yang nilainya turun, dengan harapan harga akan kembali naik, meskipun secara fundamental perusahaan tersebut sudah bermasalah. Keputusan yang didorong oleh emosi ini akhirnya membuat kerugian menjadi lebih besar.

Tak hanya dalam investasi, behavioral economics juga menjelaskan pola konsumsi sehari-hari. Misalnya, banyak orang terjebak dalam anchoring bias, yaitu kecenderungan terpaku pada informasi awal yang mereka terima. 

Anchoring Bias menyebabkan hasil investasi kita kurang maksimal, karena investor cenderung bergantung pada informasi awal yang diterima sehingga sehingga menyulitkan untuk membuat penilaian objektif dan akurat. 

Saat melihat label diskon “70% off”, konsumen sering merasa mendapatkan penawaran luar biasa murah, padahal harga asli sudah dinaikkan lebih dulu. Begitu pula dengan social proof, di mana seseorang mengikuti perilaku orang lain karena takut tertinggal tren. Hal inilah yang membuat banyak orang membeli barang mewah atau mengikuti gaya hidup tertentu, bukan karena kebutuhan, melainkan karena ingin diakui secara sosial.

Sementara itu, faktor emosional juga memainkan peran besar. Stress, rasa takut, atau euforia dapat memengaruhi keputusan finansial seseorang. Dalam kondisi tertekan, banyak orang justru melakukan retail therapy—berbelanja untuk menghibur diri, meski kemudian menyesal karena pengeluaran membengkak. 

Retail therapy, dalam konteks keuangan, mengacu pada praktik berbelanja untuk meningkatkan suasana hati atau mengatasi perasaan negatif seperti stres atau kesedihan. Meskipun dapat memberikan kelegaan sementara, retail therapy juga bisa berdampak negatif pada keuangan jika tidak dikelola dengan bijak. 

Di sisi lain, dalam situasi euforia, seperti ketika harga aset digital naik drastis, banyak investor tergoda untuk masuk tanpa perhitungan. Padahal, keputusan berdasarkan emosi sesaat hampir selalu berakhir dengan kerugian.

Mengapa kita sulit menghindari kesalahan ini? Salah satu jawabannya adalah keterbatasan kapasitas otak manusia dalam memproses informasi kompleks. Keuangan, apalagi investasi, sering kali melibatkan data rumit, probabilitas, dan proyeksi jangka panjang. Akibatnya, kita lebih mengandalkan insting atau mental shortcut yang sederhana. 

Dalam konteks keuangan, "mental shortcut" mengacu pada cara berpikir cepat dan tidak selalu akurat yang digunakan individu untuk membuat keputusan finansial. Ini seringkali melibatkan penggunaan aturan praktis atau heuristik yang dapat mengarah pada bias dan kesalahan dalam pengambilan keputusan. 

Di sinilah pentingnya edukasi finansial dan nudging—strategi kecil yang mendorong orang untuk membuat pilihan lebih baik. 

Nudging dalam konteks keuangan merujuk pada penggunaan prinsip-prinsip psikologi perilaku untuk secara halus mempengaruhi keputusan keuangan individu agar mereka membuat pilihan yang lebih baik, tanpa menghilangkan kebebasan mereka untuk memilih. Ini bukan tentang memaksa atau melarang, tetapi tentang merancang lingkungan atau pilihan yang membuat pilihan yang lebih baik menjadi lebih mudah dan lebih menarik. 

Misalnya, perusahaan bisa secara otomatis mendaftarkan karyawan ke dalam program pensiun (dengan opsi keluar jika tidak mau). Studi menunjukkan langkah sederhana ini secara signifikan meningkatkan jumlah orang yang menabung untuk masa depan.

Pada akhirnya, behavioral economics mengingatkan kita bahwa manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya rasional. Kita dipengaruhi oleh bias, emosi, lingkungan sosial, dan persepsi yang terbatas. Kesadaran akan kelemahan ini adalah langkah awal untuk memperbaiki cara kita mengelola keuangan. Dengan memahami mengapa kita sering membuat pilihan yang buruk, kita bisa merancang strategi yang lebih cerdas—mulai dari menahan diri dari godaan konsumsi impulsif, menetapkan tujuan finansial jangka panjang, hingga menggunakan sistem otomatisasi dalam menabung atau berinvestasi. Seperti kata pepatah, “kesalahan terbesar bukanlah jatuh, tapi tidak belajar dari jatuhnya.”


Sumber :

https://pluang.com/blog/glossary/behavioral-economics-adalah

https://moduit.id/en/article/anchoring-bias

Related Posts