Tuesday, June 3, 2025

Gaji UMR vs Gaya Hidup Mewah: Bisa Gak Sih

Pertanyaan “Gaji UMR vs Gaya Hidup Mewah: Bisa Gak Sih?” terdengar seperti paradoks yang sering jadi bahan perbincangan di warung kopi, linimasa media sosial, bahkan forum finansial. Di satu sisi, ada keinginan untuk hidup nyaman, stylish, dan eksis; di sisi lain, realita angka di slip gaji tampak terlalu kecil untuk semua impian itu. Gaji UMR atau Upah Minimum Regional memang dirancang sebagai batas minimum penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Namun, ketika kebutuhan dasar itu berbenturan dengan standar hidup media sosial, pertanyaannya bukan cuma “bisa gak?”—tapi juga “seberapa jauh kamu mau mengorbankan kenyataan demi ilusi?”

Bagi sebagian orang, gaya hidup mewah tak selalu berarti mobil sport dan liburan ke Eropa. Dalam konteks urban millennial dan Gen Z saat ini, "mewah" bisa berarti ngopi setiap sore di kafe estetik, pakai iPhone keluaran terbaru, langganan Netflix, makan di resto Korea, dan sesekali staycation. Semua itu tampak seperti kebutuhan biasa di feed Instagram, tapi untuk seseorang yang bergaji UMR—katakanlah sekitar Rp4–5 juta di kota besar—pola konsumsi semacam ini dapat menggerus keuangan dalam hitungan minggu. Bahkan sebelum tengah bulan, dompet dan rekening bisa kosong, sementara utang kartu kredit atau paylater mengintai dengan bunga tak kasat mata.

Meski begitu, kita tidak bisa serta-merta menyalahkan keinginan untuk menikmati hidup. Semua orang ingin merasakan kemewahan, bahkan hanya sesekali. Namun pertanyaannya kembali ke kemampuan: apakah kemewahan itu dibayar tunai atau dicicil dengan masa depan? Apakah kamu hidup untuk memenuhi standar orang lain, atau untuk membangun kehidupan yang stabil dalam jangka panjang?

Beberapa orang memang pintar bermain strategi. Mereka membagi waktu dengan menjadi freelancer di luar jam kerja, membangun usaha kecil-kecilan online, atau berhemat dalam banyak aspek demi satu dua pos gaya hidup yang mereka anggap penting. Tapi banyak juga yang terjebak: hidup dari gaji ke gaji, tanpa tabungan, dengan utang konsumtif yang terus menumpuk. Sering kali, gaya hidup mewah yang dipaksakan justru menciptakan tekanan mental tersendiri—kehilangan makna hidup, merasa gagal, dan terjebak dalam lingkaran pembanding sosial yang tak berujung.

Jadi, jawabannya: bisa gak hidup mewah dengan gaji UMR? Secara teknis mungkin, secara psikologis melelahkan, dan secara finansial tidak berkelanjutan. Jika tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang, yang terjadi bukanlah kenaikan kelas sosial, melainkan jebakan gaya hidup yang menggerus peluang untuk masa depan yang aman dan mandiri.


Hidup di tengah kota dengan gaji UMR sering kali terasa seperti berjalan di tali yang ditarik kencang. Satu langkah salah, dan kamu bisa jatuh dalam lubang utang, stres finansial, atau penyesalan jangka panjang. Di tengah gempuran gaya hidup digital dan tekanan sosial dari media, menjaga gaya hidup tetap seimbang sesuai penghasilan bukan hal yang mudah. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Justru dari kesadaran akan keterbatasan itulah seseorang bisa membentuk pola hidup yang realistis, sehat secara finansial, dan penuh kendali diri.

Kuncinya adalah mengenali ritme penghasilan dan membangun gaya hidup yang mengikuti alur itu, bukan sebaliknya. Banyak orang jatuh ke dalam jebakan “ingin terlihat mapan” padahal secara finansial belum siap. Gaji UMR—sekitar empat sampai lima juta di kota besar—sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar jika dikelola dengan bijak. Namun ketika semua hal ingin dipenuhi sekaligus—kafe kekinian, gadget terbaru, fashion branded, liburan dadakan—yang terjadi adalah kekacauan anggaran dan perasaan cemas di akhir bulan.

Gaya hidup seimbang bukan berarti hidup seadanya, tapi hidup dengan prioritas yang jelas. Kamu tetap bisa nongkrong, tapi mungkin cukup sekali seminggu. Kamu tetap bisa belanja, tapi kamu tahu mana yang kebutuhan dan mana yang cuma keinginan sesaat. Dengan gaya hidup seimbang, kamu tidak meniadakan kesenangan, tapi kamu menyesuaikannya dengan kemampuan. Di sini, kemampuan menunda kepuasan—delayed gratification—menjadi aset paling berharga.

Misalnya, dengan menyisihkan 10–20 persen gaji untuk tabungan atau dana darurat di awal bulan, kamu sudah memberi ruang aman dalam keuanganmu. Sisanya, kamu atur secara proporsional untuk kebutuhan harian, transportasi, dan hiburan. Jika memungkinkan, mencari sumber penghasilan tambahan bisa memberi napas lebih lega, tapi yang utama adalah menghindari gaya hidup reaktif—di mana kamu membeli atau melakukan sesuatu hanya karena semua orang melakukannya.

Salah satu fondasi dari gaya hidup realistis ala UMR adalah kesadaran diri. Kesadaran bahwa kamu tidak harus mengikuti standar hidup orang lain. Kesadaran bahwa kekayaan sejati tidak datang dari konsumsi berlebihan, tetapi dari kemampuan membangun fondasi keuangan yang sehat secara bertahap. Dan kesadaran bahwa hidup yang teratur, tidak tergantung utang konsumtif, jauh lebih nyaman daripada pencitraan semu yang habis dalam seminggu.

Jadi, gaya hidup seimbang bukan berarti mengurung diri dari dunia luar atau hidup dalam keseragaman tanpa warna. Justru sebaliknya, ia adalah hidup dengan kendali, bukan terbawa arus. Dengan penghasilan yang mungkin terbatas, kamu bisa tetap punya ruang untuk tumbuh, bermimpi, dan menikmati hidup—asal kamu tahu batas, dan tahu mana yang layak diperjuangkan.

Saturday, May 24, 2025

Efek Domino dari PT Sritex Pailit

PT Sritex Pailit.

Apa yang Terjadi pada Dunia Usaha Indonesia?.

Setelah lebih dari lima dekade menjadi ikon industri tekstil nasional, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada Oktober 2024. Keputusan ini menandai berakhirnya perjalanan perusahaan yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia dalam ekspor tekstil dan penyedia seragam militer untuk puluhan negara . Penutupan operasional Sritex per 1 Maret 2025 berdampak langsung pada lebih dari 10.965 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) .

Akar Masalah.

Utang Menggunung dan Gagal Bayar.

Sritex, yang berdiri sejak 1966, mengalami tekanan finansial berat akibat utang yang menumpuk hingga mencapai Rp29,8 triliun. Meskipun sempat mendapatkan perpanjangan restrukturisasi utang melalui PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) pada 2021, perusahaan gagal memenuhi kewajiban pembayaran kepada kreditur, termasuk PT Indo Bharat Rayon. Gugatan dari kreditur ini berujung pada putusan pailit oleh pengadilan .


Dampak Sosial dan Ekonomi.

Penutupan Sritex tidak hanya berdampak pada ribuan karyawan yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga menimbulkan efek domino pada industri tekstil nasional. Sebagai salah satu pemain utama, kejatuhan Sritex menjadi sinyal peringatan bagi dunia usaha Indonesia tentang pentingnya manajemen keuangan yang prudent dan adaptasi terhadap dinamika pasar global .


Pelajaran bagi Dunia Usaha.

Kasus Sritex menggarisbawahi perlunya perusahaan untuk,

  • Mengelola utang dengan bijak. 
  • Menghindari ekspansi agresif tanpa perhitungan matang.
  • Menjaga transparansi dan tata kelola. 
  • Membangun kepercayaan dengan kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
  • Beradaptasi dengan perubahan pasar.
  • Memperkuat daya saing melalui inovasi dan efisiensi operasional.

Kejatuhan Sritex menjadi cermin bagi dunia usaha Indonesia untuk lebih waspada dan responsif terhadap tantangan ekonomi yang terus berkembang.


Pailit di Sektor Manufaktur.

Apa yang Salah?.

Sektor manufaktur pernah menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja, menjadi andalan ekspor nonmigas, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19 pada 2020, sektor ini menghadapi tekanan hebat yang berujung pada gelombang kepailitan. Pertanyaan besar pun muncul: apa yang sebenarnya salah?

Salah satu masalah utama adalah struktur pembiayaan yang rapuh. Banyak perusahaan manufaktur melakukan ekspansi besar-besaran selama masa pertumbuhan, namun pendanaannya banyak bergantung pada pinjaman berbunga tinggi. Ketika pandemi menghantam dan permintaan menurun drastis, arus kas perusahaan pun terganggu. Ketidakmampuan membayar utang membuat beberapa perusahaan terseret ke dalam status gagal bayar hingga pailit. PT Sri Rejeki Isman (Sritex), misalnya, yang sempat menjadi ikon tekstil nasional, akhirnya dinyatakan pailit karena gagal membayar utang jumbo.

Selain itu, kebijakan impor dan kompetisi global juga memberi tekanan berat. Banjirnya barang-barang impor murah dari luar negeri, terutama dari Tiongkok dan Vietnam, membuat produk dalam negeri sulit bersaing dari sisi harga. Sementara upaya untuk meningkatkan efisiensi terkendala oleh biaya energi, logistik, dan ketenagakerjaan yang relatif tinggi. Dalam beberapa kasus, industri manufaktur dalam negeri seolah "bertempur tanpa perlindungan" di pasar yang kian terbuka.

Masalah lain yang turut memperparah adalah ketergantungan pada bahan baku impor. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mempengaruhi biaya produksi secara signifikan. Ketika rupiah melemah, harga bahan baku melonjak, sementara harga jual tidak bisa langsung disesuaikan. Margin keuntungan menyusut, dan perusahaan pun kesulitan bertahan.

Dari sisi internal, banyak perusahaan manufaktur juga belum siap dalam transformasi digital dan otomasi. Di era industri 4.0, efisiensi dan adaptabilitas sangat dibutuhkan. Sayangnya, banyak pelaku industri kecil dan menengah (IKM) belum mampu berinvestasi dalam teknologi. Padahal tanpa itu, mereka akan tertinggal jauh dalam hal produktivitas dan daya saing global.

Krisis yang menghantam sektor manufaktur ini bukan hanya tentang angka-angka neraca keuangan, tetapi menyangkut nasib pekerja dan stabilitas sosial-ekonomi. Setiap pailit berarti ribuan orang kehilangan pekerjaan, dan komunitas lokal ikut terdampak. Negara pun kehilangan potensi pendapatan pajak dan devisa ekspor.

Maka, perlu langkah serius untuk membenahi sektor ini. Pemerintah harus memperkuat perlindungan industri strategis, mendorong diversifikasi pasar ekspor, menyediakan insentif untuk transformasi digital, serta menyiapkan skema pembiayaan yang lebih ramah terhadap pelaku usaha manufaktur.

Gelombang pailit yang menghantam sektor manufaktur bukan hanya sinyal krisis, tapi juga seruan untuk refleksi. Jika tidak segera dibenahi, kita bisa kehilangan basis industri yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi nasional.


Efek Domino.

Dari Perusahaan Bangkrut ke Krisis Sosial

Kebangkrutan sebuah perusahaan bukan sekadar cerita bisnis yang gagal mengelola keuangan atau salah dalam mengambil strategi pasar. Di balik keruntuhan sebuah entitas usaha terdapat gelombang dampak yang lebih luas, membentuk efek domino yang bisa mengarah pada krisis sosial. Fenomena ini bukan hal baru, namun di tengah ketidakpastian ekonomi global dan nasional, efeknya terasa semakin tajam dan kompleks.

Saat sebuah perusahaan dinyatakan bangkrut, konsekuensi pertama yang muncul adalah pemutusan hubungan kerja secara massal. Ribuan bahkan puluhan ribu karyawan tiba-tiba kehilangan mata pencaharian. Ini bukan sekadar statistik—ini berarti ada keluarga yang tak lagi bisa membayar biaya sekolah anak, cicilan rumah, bahkan kebutuhan makan sehari-hari. Ketika gelombang pemutusan kerja menyapu beberapa perusahaan dalam satu sektor atau wilayah yang sama, tingkat pengangguran pun melonjak, menciptakan tekanan sosial yang nyata di masyarakat.

Dampak lanjutan dari kebangkrutan perusahaan juga menyasar pelaku usaha lain dalam rantai pasok. Pemasok kecil, vendor logistik, hingga mitra distribusi yang bergantung pada kelangsungan perusahaan utama ikut terguncang. Banyak di antara mereka yang akhirnya turut mengalami kesulitan likuiditas, bahkan ikut gulung tikar. Inilah bagaimana sebuah kebangkrutan bisa menyebar seperti efek domino ke berbagai lini ekonomi.

Krisis sosial juga berpotensi tumbuh dari kondisi ini, terutama ketika pemerintah atau lembaga sosial belum siap dengan sistem jaring pengaman yang kuat. Ketimpangan ekonomi makin melebar, frustrasi sosial meningkat, dan tidak jarang berujung pada gejolak sosial-politik. Dalam sejarah, beberapa krisis sosial besar berakar dari runtuhnya stabilitas ekonomi yang dimulai dari kegagalan sektor usaha.

Lebih jauh, efek domino ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap dunia usaha dan sistem ekonomi secara keseluruhan. Investor menjadi ragu untuk menanamkan modal, masyarakat kehilangan optimisme terhadap mobilitas ekonomi, dan konsumsi domestik pun terhambat akibat daya beli yang menurun. Ini memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan, menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus.

Untuk menghindari krisis sosial yang lebih luas akibat gelombang kebangkrutan, diperlukan peran aktif dari semua pihak. Pemerintah harus memperkuat kebijakan proteksi sosial, mempercepat penyaluran bantuan kepada korban PHK, serta menciptakan ekosistem usaha yang sehat dan tahan krisis. Dunia usaha sendiri perlu mengelola risiko dengan lebih bijak, membangun cadangan likuiditas, dan memperhatikan aspek keberlanjutan bisnis, tidak hanya mengejar pertumbuhan instan.

Krisis perusahaan adalah peringatan, bukan hanya bagi sektor bisnis, tapi juga bagi sistem sosial secara keseluruhan. Karena ketika ekonomi runtuh, yang pertama dan paling keras terkena adalah manusia—dan beban itu terlalu berat jika ditanggung sendiri.

Jika kamu ingin, saya juga bisa bantu buatkan artikel lanjutan tentang bagaimana kebijakan pemerintah dapat meredam efek sosial dari gelombang PHK dan bangkrutnya perusahaan.

Tuesday, April 29, 2025

Dolar dan Dominasi : Amerika sebagai Polisi Ekonomi Dunia

Hubungan antara dolar Amerika Serikat dan peran Amerika sebagai "polisi dunia" merupakan salah satu fenomena geopolitik dan ekonomi paling mencolok dalam sejarah modern. 

Istilah "Polisi Dunia" untuk Amerika Serikat mengacu pada peran dan posisi dominan yang dimilikinya di dunia internasional, dengan kemampuan dan pengaruh militer yang besar, serta cenderung terlibat dalam konflik dan intervensi di berbagai negara. Istilah ini mencerminkan kesadaran akan peran Amerika Serikat dalam menjaga perdamaian dan keamanan global, meskipun juga menuai kritik terkait intervensi dan potensi dampak negatifnya. 

Polisi global adalah istilah informal untuk sebuah negara yang berusaha mencari atau mengklaim kekuasaan tertinggi dalam dunia global. Istilah polisi global pertama kali digunakan oleh Kerajaan Inggris, dan digunakan sejak tahun 1945 oleh Amerika Serikat, negara yang paling berpengaruh di antara empat negara yang menjadi pemenang dalam Perang Dunia II.

Dolar Amerika Serikat mulai menggantikan pound sterling sebagai mata uang cadangan internasional dari tahun 1920-an sejak muncul dari Perang Dunia Pertama relatif tanpa kendala dan karena Amerika Serikat termasuk penerima emas ketika masa perang yang signifikan. Setelah Amerika Serikat muncul sebagai negara adikuasa global yang bahkan lebih kuat selama Perang Dunia Kedua, Perjanjian Bretton Woods tahun 1944 menetapkan sistem moneter internasional pascaperang, dengan naiknya dolar Amerika Serikat menjadi mata uang cadangan utama dunia untuk perdagangan internasional, dan satu-satunya mata uang pascaperang dengan jaminan emas dengan harga $35 per troy ounce.

Dalam beberapa tahun terakhir telah ada spekulasi bahwa Tiongkok dapat mengambil alih peran sebagai polisi global, dengan usaha yang telah dilakukannya untuk melindungi jalur pelayaran dan para pekerja luar negeri mereka yang ada di Tiongkok, serta upaya mereka 'menyelinap ke dalam persekutuan negara-negara adidaya'. Pihak Barat, berdasarkan surat kabar Financial Times menyatakan bahwa hal ini harus dilihat sebagai suatu peluang, bukan sebagai suatu ancaman.

Dominasi dolar sebagai mata uang cadangan global tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi bagi Amerika, tetapi juga menjadi instrumen kekuatan politik yang memungkinkan negara tersebut memainkan peran dominan dalam tatanan dunia. Sejak berakhirnya Perang Dunia II dan pembentukan sistem Bretton Woods, dolar secara resmi diakui sebagai mata uang utama dunia yang dipatok terhadap emas. Meskipun sistem itu akhirnya runtuh pada awal 1970-an, status dolar sebagai mata uang internasional tetap bertahan, bahkan semakin menguat, terutama karena pengaruh besar Amerika Serikat dalam ekonomi global, sektor keuangan, dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

Keunggulan ini memberi Amerika "senjata" yang kuat dalam bentuk apa yang dikenal sebagai “senjata finansial.” Misalnya, dengan kemampuan mengakses sistem keuangan internasional berbasis dolar dan pengaruh besar terhadap sistem SWIFT (jaringan pembayaran internasional), Amerika dapat memberlakukan sanksi ekonomi secara efektif kepada negara-negara yang dianggap mengancam stabilitas atau melanggar kepentingan globalnya. Negara-negara seperti Iran, Rusia, dan Korea Utara pernah menjadi sasaran dari strategi semacam ini, yang menjadi bagian dari diplomasi koersif non-militer yang kian dominan sejak awal abad ke-21. Dalam hal ini, peran dolar tidak hanya sebagai alat transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai alat diplomasi dan kontrol.

Dominasi dolar juga memberikan kemampuan bagi Amerika Serikat untuk membiayai kebijakan luar negerinya yang agresif tanpa mengalami tekanan keuangan dalam jangka pendek. Dengan mencetak uang dalam mata uang yang dipercaya dan digunakan di seluruh dunia, Amerika memiliki ruang untuk mendanai operasi militer, bantuan luar negeri, dan berbagai aktivitas intervensi tanpa harus khawatir akan penurunan drastis pada nilai tukar atau tingkat inflasi. Inilah yang menyebabkan banyak pengamat mengaitkan posisi dolar dengan peran "polisi dunia" yang diemban oleh Amerika—bahwa tanpa dominasi dolar, kemungkinan besar kemampuan negara itu untuk mempertahankan pengaruh global secara militer dan ekonomi akan jauh lebih terbatas.

Namun, hubungan ini tidak datang tanpa risiko. Ketergantungan dunia pada dolar juga menimbulkan kritik dan upaya dari berbagai negara untuk mendiversifikasi cadangan devisa mereka atau membentuk sistem keuangan alternatif. Negara-negara seperti China dan Rusia secara aktif membentuk aliansi ekonomi yang tidak sepenuhnya bergantung pada dolar, termasuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan bilateral dan mengembangkan sistem pembayaran alternatif. Hal ini menunjukkan bahwa dominasi dolar yang memperkuat peran global Amerika juga berpotensi memicu resistensi geopolitik yang dapat mengubah lanskap moneter internasional dalam beberapa dekade ke depan.

Resistensi geopolitik mengacu pada perlawanan atau penentangan terhadap kebijakan dan tindakan yang terkait dengan geopolitik, yang seringkali melibatkan kepentingan nasional atau regional yang bertentangan. Dalam konteks ini, geopolitik adalah studi tentang bagaimana faktor geografis memengaruhi hubungan politik dan strategi negara-negara di dunia. Resistensi geopolitik dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perlawanan fisik hingga perlawanan politik dan ekonomi. 

Singkatnya, hubungan erat antara dominasi dolar dan peran Amerika Serikat sebagai "polisi dunia" merupakan simbiosis yang saling memperkuat. Dolar menyediakan kekuatan ekonomi dan diplomatik, sementara peran global Amerika menjaga kepercayaan terhadap mata uang tersebut. Selama dunia masih menggunakan dolar sebagai alat transaksi dan cadangan devisa utama, peran dominan Amerika di panggung dunia kemungkinan besar akan terus berlanjut. Namun, di tengah ketidakpastian geopolitik dan perubahan struktur kekuatan global, pertanyaan pentingnya adalah: sampai kapan ketergantungan dunia pada dolar akan bertahan?

Fenomena yang kini ramai diperbincangkan adalah de-dollarisasi, yaitu upaya negara-negara di dunia untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat.

Percepatan proses de-dollarisasi tidak terjadi begitu saja, melainkan didorong oleh sejumlah faktor strategis yang mencerminkan ketidakpuasan global terhadap dominasi dolar Amerika Serikat. 

Maka tak heran jika negara aliansi BRICS yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan untuk berencana membentuk sistem pembayaran baru, alias tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat sebagai mata uang mereka untuk melakukan transaksi.

Sumber :

https://www.zenius.net/blog/amerika-serikat-polisi-dunia-bagian-2/#:~:text=Gak%20heran%20Amerika%20disebut%20sebagai,dunia%20ini%2C%20tanpa%20menyoroti%20sebabnya.

https://id.wikipedia.org/wiki/Polisi_global

https://rmol.id/politik/read/2025/03/28/661352/agenda-geopolitik-kawasan-tak-ingin-indonesia-kuat

https://www.kompasiana.com/yunitadfjr6999/6809c210ed6415291a3ffb22/de-dollarisasi-global-akankah-dolar-as-kehilangan-dominasi

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230418063931-4-430795/kapan-momen-tepat-dedolarisasi-ri-ini-kata-eks-menkeu-ri

https://id.wikipedia.org/wiki/Dedolarisasi

Sunday, April 27, 2025

Bagaimana Bisa Terjadi Fluktuasi Kurs Rupiah terhadap Dolar?

"Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa nilai Rupiah kadang meluncur tajam terhadap Dolar Amerika tanpa peringatan? Di balik angka-angka yang berubah setiap hari itu, tersembunyi dinamika besar antara ekonomi global, sentimen pasar, dan kebijakan domestik. Fluktuasi kurs bukan sekadar permainan pasar—ia adalah cerminan dari kepercayaan dunia terhadap kekuatan ekonomi sebuah negara. Mari kita telusuri bersama apa yang sebenarnya menggerakkan naik turunnya Rupiah di hadapan Dolar."

Fluktuasi kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi tanpa sebab. 

Untuk diketahui, nilai tukar rupiah merupakan hal penting yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Ini dikarenakan situasi tersebut akan memberikan pengaruh yang begitu besar terhadap perekonomian sebuah negara.

Kurs merupakan nilai mata uang suatu negara dengan nilai mata uang negara lain, yang digunakan untuk melakukan perdagangan internasional, kurs ditentukan oleh adanya keseimbangan antara permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar valuta asing, pengaruhnya bagi neraca transaksi berjalan dan bagi makro ekonomi yang lainnya. Besarnya dampak akibat dari fluktuasi nilai tukar terhadap perekonomian, maka diperlukan suatu kebijakan untuk mengendalikan nilai tukar mata uang, sehingga pergerakan atau fluktuasi nilai tukar dapat diprediksi dan perekonomian dapat berjalan dengan stabil.

Nilai tukar mata uang sangat sensitif terhadap berbagai faktor ekonomi, politik, hingga sentimen pasar global. Secara sederhana, kurs dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika permintaan terhadap Dolar lebih tinggi dibandingkan Rupiah, maka Rupiah akan melemah, dan sebaliknya. Namun di balik hukum dasar itu, ada faktor-faktor lebih kompleks yang bekerja. Salah satunya adalah perbedaan tingkat inflasi dan suku bunga antara Amerika Serikat dan Indonesia. Ketika inflasi di Indonesia tinggi, daya beli Rupiah turun, membuat investor cenderung mencari mata uang yang lebih stabil seperti Dolar. 

Secara umum, sebuah negara dengan tingkat inflasi yang konsisten lebih rendah menunjukkan peningkatan nilai mata uang, sebagaimana daya belinya relatif meningkat terhadap mata uang lainnya. Selama paruh terakhir abad kedua puluh ini, negara-negara yang inflasinya rendah adalah termasuk Jepang, Jerman dan Swiss, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada mencapai inflasi yang rendah kemudian. Negara-negara dengan inflasi yang lebih tinggi biasanya akan mengalami depresiasi pada mata uang mereka jika dibandingkan dengan mata uang mitra dagang mereka. Hal ini juga biasanya disertai dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.

Selain itu, suku bunga di negara maju seperti Amerika Serikat yang lebih menarik juga membuat arus modal asing keluar dari Indonesia, meningkatkan tekanan terhadap Rupiah.

Faktor eksternal seperti ketidakpastian ekonomi global, perang dagang, atau perubahan kebijakan moneter The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) juga bisa mengguncang pasar mata uang. Misalnya, ketika The Fed menaikkan suku bunga, investor global lebih memilih menyimpan dananya di aset berbasis Dolar, yang dinilai lebih aman, sehingga permintaan terhadap Dolar melonjak dan Rupiah tertekan. Kondisi domestik juga memainkan peran besar. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan, serta utang luar negeri semuanya ikut membentuk kepercayaan pasar terhadap Rupiah. Ketika ada ketidakpastian politik atau ekonomi dalam negeri, investor bisa kehilangan kepercayaan, menjual Rupiah, dan membeli Dolar, yang pada akhirnya memperlemah posisi Rupiah.

Tidak kalah penting, psikologi pasar dan spekulasi juga mempercepat fluktuasi. Terkadang, sentimen negatif atau berita tertentu bisa mendorong aksi jual besar-besaran terhadap Rupiah, walaupun fundamental ekonominya tidak terlalu buruk. Di sinilah peran Bank Indonesia menjadi vital. Melalui intervensi di pasar valas, pengaturan suku bunga, dan kebijakan makro prudensial, Bank Indonesia berusaha menjaga stabilitas kurs agar tidak bergerak liar. 

Dalam jangka panjang tingkat suku bunga Bank Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dan searah terhadap nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika, artinya apabila terdapat peningkatan suku bunga, maka dalam jangka panjang akan terjadi pelemahan rupiah terhadap Dolar Amerika.

Lebih lanjut, ekspektasi pasar akan kebijakan suku bunga tinggi Amerika Serikat juga menjadi pemicu melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Kemungkinan bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga lebih lanjut setelah mempertahankan suku bunga stabil, seiring dengan tetap memperketat sikap kebijakan moneter yang hawkish.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan menstabilkan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing. Langkah ini diharapkan dapat meredakan volatilitas mata uang domestik serta memberikan sinyal positif kepada para pelaku pasar mengenai komitmen Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional.

Pelemahan rupiah juga memberi keuntungan bagi segelintir pihak. Mereka yang bergaji dolar akan menikmati kurs yang lebih tinggi. Produk ekspor Indonesia juga makin kompetitif di pasar global, meski tak semua eksportir merasakan manfaat karena tergantung bahan baku impor.

Walaupun fluktuasi tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, langkah-langkah ini bertujuan untuk mencegah gejolak yang berlebihan, yang bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan memahami berbagai faktor ini, kita bisa melihat bahwa pergerakan kurs Rupiah terhadap Dolar bukan sekadar angka acak, melainkan hasil interaksi dinamis antara faktor ekonomi, kebijakan, dan psikologi pasar global.

Fluktuasi nilai tukar antara dolar Amerika Serikat dan rupiah Indonesia memiliki dampak yang kompleks dan luas pada berbagai sektor ekonomi. Untuk menghadapi tantangan ini, koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan sektor swasta diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kepentingan ekonomi domestik


Sumber :

https://www.tempo.co/ekonomi/tembus-rp-16-000-ini-penyebab-fluktuasi-nilai-tukar-rupiah-atas-dolar-as-pada-libur-lebaran-68462

https://policy.paramadina.ac.id/inilah-6-faktor-yang-pengaruhi-perubahan-nilai-tukar-mata-uang/

https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/ekonom-soroti-kebijakan-intervensi-bi-stabilkan-rupiah-sebagai-langkah-strategis

https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/5773

https://www.tempo.co/ekonomi/apa-yang-terjadi-jika-kurs-rupiah-terus-melemah--1231763

https://www.detik.com/jateng/bisnis/d-7858694/update-nilai-1-dollar-berapa-rupiah-cek-kurs-usd-hari-ini.

https://unair.ac.id/nilai-rupiah-melemah-terhadap-dolar-ini-dampaknya-menurut-ekonom-unair/

Tuesday, April 22, 2025

Mengapa Deflasi Bisa Lebih Menakutkan dari Inflasi?

Bayangkan sebuah dunia di mana harga-harga terus turun, tetapi justru bukan membawa kegembiraan, melainkan kecemasan yang mendalam. Orang-orang menunda belanja, bisnis-bisnis tutup satu per satu, dan roda ekonomi melambat hingga hampir berhenti. Inilah wajah gelap deflasi—ancaman sunyi yang sering tersembunyi di balik ketakutan akan inflasi. Sementara inflasi mencuri uang dari dompet Anda secara perlahan, deflasi merampas nyali dari pasar, melemahkan semangat konsumsi, dan menyulut krisis ekonomi yang jauh lebih sulit dipulihkan. Mengapa deflasi bisa lebih menakutkan dari inflasi? Artikel ini akan mengupasnya tuntas.

Dalam percakapan sehari-hari, inflasi lebih sering menjadi topik yang ramai diperbincangkan, terutama saat harga kebutuhan pokok melonjak dan daya beli masyarakat menurun. Namun, di balik bayang-bayang inflasi, terdapat ancaman ekonomi yang tidak kalah serius, bahkan bisa jauh lebih menakutkan—deflasi. Deflasi adalah kondisi ketika harga-harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan yang berkepanjangan. 

Berdasarkan teori secara umum, Deflasi adalah kondisi ekonomi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan. Kondisi ini bisa memberikan dampak negatif pada perekonomian, seperti penurunan produksi, peningkatan pengangguran, dan perlambatan ekonomi. Walaupun harga barang menjadi lebih murah, deflasi juga bisa membuat masyarakat dan perusahaan menunda pembelian karena berharap harga akan terus turun, yang pada akhirnya mengurangi permintaan dan mengganggu pertumbuhan ekonomi. 

Sekilas, hal ini mungkin terdengar sebagai kabar baik bagi konsumen. Harga murah seolah menjadi keuntungan tersendiri, tetapi kenyataan ekonominya justru sebaliknya: deflasi bisa menjadi gejala dari sistem ekonomi yang sedang sakit dan kehilangan daya geraknya.

Salah satu alasan mengapa deflasi begitu berbahaya adalah karena ia menciptakan siklus penurunan yang sulit dipatahkan. Ketika harga-harga turun, konsumen dan pelaku bisnis cenderung menunda pembelian dan investasi dengan harapan harga akan terus lebih murah di masa mendatang. Akibatnya, permintaan pun lesu, produksi melambat, dan perusahaan mulai mengurangi tenaga kerja untuk menekan biaya. Ini mengakibatkan peningkatan pengangguran dan penurunan pendapatan masyarakat, yang pada gilirannya membuat daya beli semakin lemah. Siklus ini bisa berlangsung terus-menerus, menciptakan spiral deflasi yang menyeret ekonomi ke dalam stagnasi bahkan depresi.

Berbeda dengan inflasi, yang masih bisa dikendalikan dengan kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga atau menahan pasokan uang, deflasi jauh lebih rumit diatasi karena menuntut stimulus yang agresif dalam kondisi kepercayaan pasar yang rendah. 

Berdasarkan teori secara umum, inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus, kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas pada barang lainnya.

Bank sentral bisa menurunkan suku bunga bahkan hingga nol, tetapi jika masyarakat tetap tidak mau membelanjakan uangnya dan pelaku bisnis enggan berinvestasi, maka semua dorongan kebijakan tersebut bisa tidak efektif. Situasi ini dikenal sebagai “liquidity trap,” di mana uang beredar di pasar, tetapi tidak mengalir ke sektor produktif.

Contoh nyata dari bahaya deflasi bisa dilihat dari krisis ekonomi yang melanda Jepang selama beberapa dekade terakhir, yang dikenal sebagai "The Lost Decades." Jepang mengalami tekanan deflasi berkepanjangan sejak awal 1990-an akibat gelembung properti dan saham yang pecah. Meskipun Jepang adalah negara maju dengan infrastruktur yang sangat baik, pertumbuhan ekonominya stagnan selama bertahun-tahun karena konsumsi yang lemah dan investasi yang terhambat.

Di tengah tantangan global saat ini, kekhawatiran terhadap deflasi kembali mencuat, terutama saat krisis finansial atau resesi berkepanjangan menggerus aktivitas ekonomi. Pandemi, disrupsi rantai pasok, dan ketidakpastian geopolitik juga menjadi pemicu turunnya permintaan global yang dapat memicu tekanan deflasi di banyak negara. Dalam konteks ini, penting bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus pada pengendalian inflasi, tetapi juga waspada terhadap risiko deflasi yang bisa datang diam-diam namun berdampak destruktif.

Deflasi, meskipun terlihat menguntungkan karena harga barang turun, memiliki bahaya jangka panjang yang signifikan, seperti penurunan pendapatan, meningkatnya pengangguran, dan potensi resesi ekonomi. Konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga lebih murah di masa depan, mengurangi permintaan dan produksi, serta menyebabkan kerugian bagi bisnis. 

Pada masa deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan bahwa harga-harga barang dan jasa akan terus turun dan menjadi semakin murah. Jika deflasi terus menerus terjadi dalam waktu yang lama, maka produsen tidak dapat menjual produknya, sehingga kondisi keuangannya akan memburuk.

Penyebab deflasi bermacam-macam, bisa karena faktor supply yang melimpah, yang disebabkan oleh peningkatan produktivitas, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan dalam perekonomian seperti deregulasi. Deflasi juga bisa terjadi karena penurunan harga komoditas utama seperti harga minyak, dan bisa pula karena kelebihan kapasitas produksi (atau supply).

Bila terjadinya deflasi terkait dengan empat faktor pertama, biasanya itu tidak berbahaya.

Namun, jika deflasi terjadi ketika konsumen mengurangi pengeluarannya karena mereka  memperkirakan harga akan terus turun atau seiring berjalan waktu menjadi lebih khawatir akan keamanan prospek perekonomian ke depan, terutama bila angka pengangguran terus meningkat.

Begitu juga ketika terjadi kelebihan investasi begitu besar, kala gelembung harga aset pecah, atau saat ketersediaan kredit terbatas, permintaan mungkin akan tetap lemah dalam jangka waktu lama.

Jika deflasi terjadi terus menerus dalam waktu yang cukup lama, maka produsen terpaksa menurunkan harga produknya supaya tetap menarik bagi konsumen. Pada kondisi yang ekstrim, produsen harus melakukan PHK atas sebagian karyawannya untuk bisa tetap beroperasi, atau bahkan menutup usahanya.

Singkatnya, deflasi bukan sekadar penurunan harga. Ia adalah sinyal adanya ketidakseimbangan dalam ekonomi, hilangnya keyakinan dalam konsumsi dan investasi, serta gejala bahwa roda ekonomi tengah kehilangan momentum. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa lebih merusak daripada inflasi, karena bukan hanya harga yang turun, tetapi juga semangat berusaha dan harapan akan pertumbuhan yang menguap. Oleh karena itu, memahami deflasi dan mengantisipasinya menjadi krusial bagi kestabilan ekonomi jangka panjang.


Sumber :

https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/50515/bahaya-deflasi-berkaca-krisis-as-jepang-buntut-deflasi-panjang/2

https://www.indopremier.com/ipotnews/newsDetail.php?jdl=Inflasi_Atau_Deflasi__Mana_yang_Lebih_Berbahaya_dalam_Perencanaan_Pensiun&news_id=188660&group_news=IPOTNEWS&news_date=&taging_subtype=PG002&name=&search=y_general&q=,&halaman=1

Sunday, April 20, 2025

Darurat Deflasi 2025 : Strategi Bertahan di Tengah Ekonomi yang Diam

Bayangkan dunia di mana harga-harga terus turun, tapi justru membuat roda ekonomi berhenti berputar. Inilah paradoks deflasi—saat segalanya tampak lebih murah, namun nyaris tak ada yang membeli. Tahun 2025 membawa bayang-bayang krisis baru yang tak terlihat tapi sangat berbahaya: darurat deflasi. Jika tidak dihadapi dengan strategi yang cerdas dan terkoordinasi, kita bukan hanya menghadapi perlambatan ekonomi, tapi juga kehilangan arah pemulihan. Jadi, bagaimana negara, bisnis, dan masyarakat bisa melawan jebakan harga murah yang mematikan ini?


Pada awal tahun 2025, Indonesia mengalami deflasi. Badan Pusat Statistik (atau BPS) mencatat deflasi bulanan (mtm) sebesar 0,76% pada Januari 2025 dan 0,48% pada Februari 2025. Secara tahunan (atau yoy), deflasi tercatat 0,09% pada Februari 2025. 

Fenomena deflasi ini menunjukkan adanya potensi perlambatan ekonomi. Kondisi pasar saat ini menunjukkan adanya oversupply pada sejumlah komoditas primer seperti minyak goreng dan telur. Hal ini terjadi karena produk-produk tersebut tidak terserap sepenuhnya oleh pasar, menyebabkan penurunan harga yang signifikan. 

Penurunan daya beli masyarakat terlihat jelas, terutama di pasar tradisional yang biasanya ramai menjelang buka puasa namun kini lebih sepi dibandingkan tahun sebelumnya.

Deflasi di Indonesia menjelang mudik Lebaran 2025, terutama di sektor transportasi, menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat. Ini tercermin dari penurunan signifikan jumlah pemudik dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan sebesar 24%. Deflasi ini juga berdampak pada peredaran uang, dengan potensi penurunan sebesar Rp 93-232 triliun. 

Deflasi menjelang bulan Ramadan adalah fenomena tidak lazim mengingat tingkat konsumsi masyarakat biasanya cukup tinggi, khususnya untuk kebutuhan pangan dan persiapan lebaran.

Fenomena ini bisa dijelaskan dari dua kemungkinan. Pertama masyarakat mungkin cenderung lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, dan lebih memilih untuk menabung. Perilaku ini bisa dipicu oleh banyak hal seperti ketidakpastian ekonomi. Kemungkinan kedua, adanya penurunan pendapatan baik karena PHK dan tidak mendapatkan THR serta kondisi ekonomi yang kurang mendukung pertumbuhan upah.

Bayangan deflasi yang mulai menghantui perekonomian global pada tahun 2025 menjadi sebuah ancaman nyata yang menuntut kesiapan dan strategi matang dari seluruh pemangku kepentingan. Deflasi, atau penurunan harga secara terus-menerus, terdengar seperti kabar baik bagi konsumen pada pandangan pertama. Namun dalam skala makro, deflasi justru membawa konsekuensi ekonomi yang serius, seperti menurunnya daya beli, stagnasi upah, berkurangnya investasi, dan lonjakan pengangguran akibat produsen menurunkan produksi untuk menghindari kerugian. Jika tidak segera diantisipasi, deflasi bisa berubah menjadi spiral yang mematikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus dimulai dari kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral memainkan peran kunci dengan menurunkan suku bunga ke tingkat paling rendah bahkan hingga ke zona negatif, guna mendorong konsumsi dan investasi. Selain itu, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) menjadi instrumen lanjutan yang digunakan untuk menyuntikkan likuiditas ke pasar, terutama untuk mendukung sektor-sektor riil seperti UMKM, properti, dan infrastruktur. Dengan suplai uang yang meningkat, diharapkan masyarakat terdorong untuk membelanjakan uang daripada menahannya, sehingga menggerakkan roda ekonomi kembali.

Di sisi fiskal, pemerintah harus berani mengambil langkah ekspansif. Stimulus langsung dalam bentuk bantuan tunai bersyarat, subsidi energi, dan program padat karya bisa membantu menjaga konsumsi rumah tangga tetap stabil. Di saat yang sama, belanja negara perlu diarahkan untuk proyek-proyek jangka panjang yang menciptakan lapangan kerja dan mendorong permintaan agregat, seperti pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan teknologi hijau. Dalam konteks deflasi, defisit anggaran yang terkendali bukanlah ancaman, melainkan bagian dari solusi untuk mendorong pertumbuhan.

Peran sektor swasta juga krusial. Dunia usaha harus diberikan insentif untuk tetap beroperasi dan berinovasi. Pemangkasan pajak sementara bagi pelaku bisnis, dukungan terhadap digitalisasi proses produksi, dan kemudahan dalam akses pembiayaan merupakan langkah-langkah yang bisa meringankan beban industri agar tetap mampu menyerap tenaga kerja. Di sisi lain, penting juga untuk meningkatkan kepercayaan konsumen melalui jaminan keamanan pekerjaan, akses layanan kesehatan, dan pendidikan, yang menjadi fondasi bagi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Yang tak kalah penting adalah menjaga psikologi pasar. Dalam situasi deflasi, persepsi bahwa harga akan terus turun membuat masyarakat menunda konsumsi dan investasi. Oleh karena itu, komunikasi yang jelas dan optimistis dari otoritas moneter dan fiskal sangat dibutuhkan. Transparansi terhadap kebijakan dan prediksi ekonomi yang realistis dapat menahan kepanikan dan mengembalikan keyakinan publik bahwa pemerintah mampu mengendalikan situasi.

Indonesia menghadapi deflasi tahunan pertama sejak tahun 2000. Meski deflasi mengindikasikan turunnya harga-harga barang dan jasa, para ekonom mengingatkan deflasi tahunan ini semu dan tidak mencerminkan daya beli masyarakat" yang sedang menurun.

Deflasi bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi krisis kepercayaan terhadap masa depan. Maka, strategi menghadapi darurat deflasi 2025 harus bersifat menyeluruh, adaptif, dan berbasis kolaborasi antara pemerintah, bank sentral, dunia usaha, dan masyarakat. Di tengah tantangan global seperti pelemahan perdagangan, ketidakpastian geopolitik, dan tekanan teknologi, hanya dengan kebijakan terintegrasi dan berorientasi jangka panjang, Indonesia dan dunia bisa selamat dari jebakan deflasi yang menjerat.


Sumber :

https://unair.ac.id/pakar-ekonomi-soroti-deflasi-tahunan-2025-dampak-perekonomian-indonesia/

https://www.voaindonesia.com/a/indonesia-alami-deflasi-tahunan-lagi-setelah-25-tahun/8001235.html

Friday, April 18, 2025

The Great Depression 1929 : Ketika Dunia Terjebak dalam Kegelapan Ekonomi

Bayangkan dunia di mana seperempat dari tenaga kerja kehilangan pekerjaannya, bank-bank gulung tikar setiap minggu, dan antrean panjang orang kelaparan memenuhi jalanan kota-kota besar. Itulah kenyataan kelam dari Great Depression, krisis ekonomi global yang tak hanya melumpuhkan pasar, tapi juga mengguncang fondasi sosial dan politik dunia. Artikel ini akan membawa Anda menelusuri bagaimana kehancuran ekonomi terbesar abad ke-20 dimulai, mengapa ia begitu menghancurkan, dan bagaimana dunia perlahan bangkit dari reruntuhannya.

Great Depression atau Depresi Besar adalah salah satu bencana ekonomi paling dahsyat dalam sejarah modern yang mengguncang dunia sejak akhir dekade 1920-an hingga awal 1940-an. Dimulai dari keruntuhan pasar saham Amerika Serikat pada tanggal 29 Oktober 1929—dikenal sebagai Black Tuesday—krisis ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia, menciptakan kehancuran ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dampaknya begitu mendalam hingga mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi global selama puluhan tahun.

Awalnya, euforia pasar saham di era “Roaring Twenties” menciptakan ilusi kemakmuran. Banyak investor, termasuk individu biasa, terjebak dalam spekulasi dan membeli saham dengan margin—yakni membeli saham dengan uang pinjaman. 

Kondisi itu menyebabkan warga Amerika Serikat berbondong-bondong membeli saham di New York Stock Exchange (NYSE) yang berpusat di Wall Street, New York City. Mulai dari jutawan, juru masak, bahkan petugas kebersihan menghabiskan uangnya untuk membeli saham. Akibatnya, Wall Street melambung tinggi, hingga puncaknya pada Agustus 1929.

Namun, hal itu menyebabkan produktivitas menurun, dan akhirnya jumlah pengangguran meningkat. Harga saham pun semakin tinggi dari nilai sebenarnya.

Kala itu besaran upah warga Amerika Serikat sangat rendah, dan akhirnya utang-utang dari masyarakat atau konsumen membengkak. Ditambah lagi kekeringan yang menyebabkan sektor pertanian memburuk, harga-harga pangan pun jatuh. Perbankan juga kena imbasnya dengan jumlah pinjaman yang besar dan tidak dapat dicairkan.

Ketika harga saham akhirnya runtuh, bukan hanya investor besar yang bangkrut, tetapi jutaan rakyat kecil ikut terjebak dalam hutang tanpa kemampuan membayar. Bank-bank kolaps secara berantai, menelan habis tabungan masyarakat. Industri yang bergantung pada kredit dan konsumsi mulai runtuh, menyebabkan penutupan pabrik dan meningkatnya pengangguran secara drastis.

Pada puncaknya, tingkat pengangguran di Amerika Serikat mencapai lebih dari 25 persen, dan di beberapa negara Eropa bahkan lebih parah. Kelaparan, tunawisma, dan kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari. Para petani tidak mampu menjual hasil panennya, sementara banyak keluarga terpaksa berpindah dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari pekerjaan atau makanan. Fenomena ini mengubah wajah Amerika dan negara-negara lain di dunia secara mendalam.

Untuk menanggulangi hal tersebut, pemerintah Amerika Serikat sampai melegalkan "Industri Dosa" (sin industry) yang meliputi penjualan minuman keras, cerutu, perjudian, dan prostitusi di Las Vegas sejak tahun 1930-an bahkan sampai sekarang. Antara 1939 dan 1944, banyak orang mendapat pekerjaan kembali karena Perang Dunia II, dan Depresi Besar pun berakhir.

Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Herbert Hoover awalnya gagal mengatasi krisis ini secara efektif. Pendekatan laissez-faire dan keyakinan bahwa pasar akan membetulkan dirinya sendiri ternyata tidak membuahkan hasil. Barulah ketika Franklin D. Roosevelt terpilih sebagai presiden pada 1933, pendekatan baru diluncurkan melalui program besar-besaran yang dikenal sebagai New Deal. Kebijakan ini berupaya menciptakan lapangan kerja, mereformasi sektor perbankan, dan memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat. Meskipun New Deal tidak sepenuhnya mengakhiri Depresi, ia berhasil mengurangi penderitaan dan menciptakan fondasi bagi pemulihan jangka panjang.

Namun, ironisnya, akhir dari Great Depression bukan datang sepenuhnya dari kebijakan ekonomi, melainkan dari meletusnya Perang Dunia II. Perang tersebut memaksa negara-negara untuk meningkatkan produksi industri dan militer, sehingga membuka kembali lapangan kerja dan memutar kembali roda ekonomi yang sempat beku selama lebih dari satu dekade.

Presiden Franklin Roosevelt pada tahun 1933 memberikan janji perubahan besar untuk mendukung kebangkitan bisnis di Amerika, membasmi pengangguran, serta mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Hal tersebut yang menjadi dasar dalam menciptakan serta memelihara infrastruktur nasional, lapangan kerja penuh, dan upah yang baik. Tujuan ini mulai tercapai atas usaha untuk mengendalikan harga, upah pekerja, serta biaya produksi.

Fokus utamanya tetap pada dukungan harga serta upah minimum dan menghapus pemerintahan dari standar emas, melarang perseorangan menimbun logam mulia. Roosevelt melarang monopoli, yang seringkali dianggap kompetitif, praktik bisnis, dan melembagakan berbagai program pekerjaan umum baru serta lembaga penciptaan lapangan kerja.

Great Depression menjadi pelajaran penting dalam sejarah ekonomi dunia. Ia membuktikan betapa rapuhnya sistem keuangan global jika tidak diawasi secara ketat, dan betapa pentingnya intervensi negara dalam menghadapi krisis sistemik. Pengalaman pahit ini juga melahirkan berbagai reformasi besar dalam sektor perbankan, jaminan sosial, serta kebijakan moneter dan fiskal yang menjadi fondasi ekonomi modern hingga saat ini. Lebih dari sekadar krisis ekonomi, Great Depression adalah pengingat bahwa stabilitas dan kemakmuran tidak pernah bisa diambil begitu saja, dan bahwa kebijakan ekonomi yang bijaksana sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan sosial dan kesejahteraan masyarakat.


Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Depresi_Besar

https://www.ocbc.id/id/article/2023/01/02/the-great-depression-adalah

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5189086/sejarah-depresi-hebat-berawal-di-as-hingga-berimbas-ke-seluruh-dunia

Tuesday, April 15, 2025

Krisis Finansial 2008

Bayangkan sebuah dunia di mana institusi keuangan raksasa runtuh dalam semalam, jutaan orang kehilangan rumah dan pekerjaan, dan kepercayaan terhadap sistem ekonomi global hancur dalam hitungan hari. Itulah kenyataan yang terjadi pada tahun 2008, saat krisis finansial global meledak dan mengguncang fondasi kapitalisme modern. Apa sebenarnya yang menyebabkan kehancuran itu, dan bagaimana dampaknya masih membayangi kita hingga hari ini? Artikel ini akan membawa Anda menyelami salah satu momen paling dramatis dalam sejarah ekonomi dunia.

Pada tahun 2008, dunia dikejutkan oleh salah satu krisis finansial paling besar sejak Depresi Besar tahun 1930-an. Krisis ini bermula dari Amerika Serikat, namun dampaknya merambat dengan cepat ke seluruh penjuru dunia, mengguncang pasar global, menjatuhkan institusi keuangan besar, dan meninggalkan luka yang masih terasa hingga bertahun-tahun setelahnya. Krisis ini dikenal dengan nama Global Financial Crisis atau Subprime Mortgage Crisis, karena akar utamanya terletak pada runtuhnya pasar perumahan dan sekuritisasi kredit berisiko tinggi di AS, yang dikenal sebagai kredit subprime.

Kasus kebangkrutan terbesar di Amerika Serikat ini mengungkapkan seberapa besar pasar keuangan bergantung kepada aset 'busuk'- apa yang disebut sebagai hipotek subprime dan turunannya - saat terjadi lonjakan beberapa tahun sebelumnya.

Masalah ini terjadi karena industri hipotek memberikan dana kepada para peminjam yang sebenarnya tidak mampu membayar. Sehingga terjadi peningkatan kebangkrutan yang memicu ambruknya sejumlah lembaga peminjaman.

Bagi dunia, hal ini menandakan berakhirnya pertumbuhan.

Sebelum krisis meledak, sektor properti AS mengalami ledakan luar biasa. Bank dan lembaga keuangan dengan mudah memberikan pinjaman hipotek kepada siapa saja, bahkan kepada mereka yang secara riil tidak mampu membayar cicilan. Kredit yang berisiko tinggi ini kemudian dibungkus dan dijual kembali dalam bentuk produk investasi kompleks seperti mortgage-backed securities (MBS) dan collateralized debt obligations (CDO), yang tampak menguntungkan di permukaan, namun sesungguhnya rapuh secara fundamental. Ketika harga rumah mulai jatuh dan suku bunga naik, gelombang gagal bayar pun dimulai. Bank-bank yang tadinya tampak kokoh tiba-tiba kolaps karena terpapar risiko yang sangat besar dari aset-aset yang kehilangan nilai.

Puncak dari krisis ini terjadi pada September 2008, ketika Lehman Brothers, salah satu bank investasi tertua dan terbesar di AS, menyatakan kebangkrutan. Kejatuhan Lehman Brothers menjadi simbol awal keruntuhan sistem keuangan global. Panik pun melanda pasar. Investor menarik dananya, pasar saham anjlok, dan sistem perbankan membeku karena kepercayaan antarlembaga keuangan runtuh. Pemerintah AS dan bank sentralnya, Federal Reserve, harus turun tangan secara masif. Triliunan dolar disuntikkan ke pasar dalam bentuk paket stimulus, jaminan, dan bailout untuk menyelamatkan bank dan perusahaan raksasa seperti AIG. Kebijakan serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain di Eropa dan Asia.

Krisis ini membawa dampak yang sangat luas: jutaan orang kehilangan pekerjaan, pasar perumahan hancur, dan perekonomian dunia memasuki resesi parah. Di Amerika Serikat, tingkat pengangguran melonjak tajam, dan rumah-rumah disita dalam jumlah besar. Eropa pun mengalami dampak besar, terutama negara-negara seperti Yunani, Irlandia, dan Spanyol yang kemudian mengalami krisis utang. Krisis ini juga menunjukkan betapa saling terhubungnya ekonomi global modern—guncangan di satu negara dapat menjalar begitu cepat ke negara lain, menyeret seluruh dunia ke dalam turbulensi ekonomi.

Dampak Krisis Moneter 2008 ke Indonesia.

Krisis perekonomian pada tahun 2008 juga memberikan dampak yang signifikan di negara Indonesia.

Krisis moneter 2008 menyebabkan dana-dana asing keluar dan menyebabkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot tajam.

BEI bahkan harus melakukan suspensi perdagangan pada 9 dan 10 Oktober 2008 untuk memberikan jeda kepada investor agar bisa lebih rasional di tengah gejolak krisis keuangan.

Pada saat krisis Lehman Brothers tersebar, IHSG menurun hingga 50 persen lebih rendah dari sebelumnya pada akhir tahun 2008.

Krisis moneter 2008 juga menyebabkan kinerja pasar obligasi melemah dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dengan harga rata-rata terkoreksi hingga 27,4 persen.

Selain itu, harga surat utang Indonesia juga menurun drastis, dengan imbal hasil melonjak sekitar 10 persen menjadi 17 persen.

Krisis Keuangan 2008 adalah hasil dari sejumlah faktor, termasuk tingkat suku bunga rendah, subprime hipotek, kredit macet, dan kurangnya intervensi pemerintah dalam mengelola kredit hipotek. Dampaknya meluas ke seluruh dunia, menyebabkan kehancuran ekonomi dan memaksa tindakan drastis untuk menghindari krisis serupa di masa depan. Dari krisis ini kita belajar bahwa pentingnya pengawasan yang ketat, pengaturan pasar yang efisien, dan pemahaman yang lebih baik tentang risiko dalam keuangan.

Dari krisis ini, dunia belajar pentingnya pengawasan dan regulasi dalam sistem keuangan. Banyak negara mereformasi sistem perbankan mereka, memperketat syarat pemberian kredit, dan membatasi spekulasi berisiko tinggi. Di sisi lain, muncul pula kritik terhadap peran lembaga rating, kegagalan pengawasan otoritas keuangan, dan keserakahan institusi perbankan besar. Krisis 2008 menjadi pengingat bahwa ekonomi modern, betapapun canggihnya, tetap rentan jika tidak dibangun di atas prinsip kehati-hatian, transparansi, dan tanggung jawab.


Sumber :

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-45495304

https://kumparan.com/nafidza-shadrina-diva-aulia/krisis-finansial-2008-gelembung-hipotek-meledak-dan-menyebabkan-krisis-ekonomi-21O4sf6oaQe/full

https://www.ocbc.id/id/article/2023/02/08/krisis-moneter-2008

Sunday, April 13, 2025

Krisis Moneter 1998: Saat Indonesia Terguncang oleh Badai Ekonomi

Bayangkan dalam hitungan bulan, uang Anda kehilangan hampir seluruh nilainya, harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, ribuan perusahaan bangkrut, dan jalanan dipenuhi amarah rakyat yang lapar dan kecewa. Inilah potret Indonesia tahun 1998—saat krisis moneter menghantam, mengguncang ekonomi, meruntuhkan rezim, dan mengubah arah sejarah bangsa.

Krisis moneter tahun 1998, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Krismon 1998”, merupakan salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah ekonomi dan politik Indonesia. 

Krisis moneter adalah kondisi terpuruknya perekonomian suatu negara yang menyebabkan harga-harga aset mengalami penurunan tajam. Keterpurukan ekonomi yang terjadi membuat masyarakat tidak bisa melunasi utang sehingga industri perbankan kekurangan likuiditas.

Munculnya krisis moneter akan berdampak pada kepanikan masyarakat yang akan memicu penjualan aset secara masif dan penarikan dana besar-besaran dari rekening tabungan. Masyarakat terpaksa melakukan hal itu  untuk menghindari risiko kerugian karena harga aset yang terus menurun apabila tetap disimpan.

Krisis ini tidak hanya menghancurkan kestabilan ekonomi nasional, tetapi juga mengguncang struktur sosial dan menjatuhkan rezim pemerintahan Orde Baru yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade. Berawal dari krisis mata uang di Thailand pada pertengahan 1997, gelombang gejolak finansial dengan cepat menyebar ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. 

Pada 2 Juli 1997 atau hari ini 27 tahun silam, pemerintah Thailand mengumumkan keputusan yang dramatis untuk mengambangkan Baht. Bangkok mengakhiri kebijakan nilai tukar tetap yang telah dipertahankan dalam beberapa dekade.

Langkah ini seharusnya merangsang ekspor Thailand dengan membuat produk-produknya lebih murah bagi pasar internasional, namun reaksi pasar justru berlawanan. Investor asing mulai menarik modal mereka secara massal, yang memicu penurunan nilai tukar baht secara drastis dan merembet ke seluruh sektor ekonomi.

Rupiah yang sebelumnya stabil dengan nilai sekitar Rp2.300 per dolar Amerika, dalam waktu singkat merosot tajam hingga menyentuh angka Rp17.000 per dolar pada awal 1998. Nilai tukar yang anjlok tersebut menyebabkan utang luar negeri swasta Indonesia yang berdenominasi dolar membengkak, dan banyak perusahaan besar pun kolaps.

Inflasi melonjak tinggi, harga-harga kebutuhan pokok melambung tak terkendali, dan masyarakat kehilangan daya beli. Sementara itu, bank-bank mulai runtuh satu per satu, menyebabkan kepercayaan terhadap sistem keuangan semakin menghilang. 

Penanam modal asing portfolio yang pada awalnya membeli saham besar-besaran diiming-imingi keuntungan yang besar yang ditunjang oleh perkembangan moneter yang relatif stabil kemudian mulai menarik dananya keluar dalam jumlah besar.

Berlanjutnya depresiasi rupiah hanya memperburuk situasi secara drastis. Perusahaan-perusahaan di Indonesia berlomba-lomba membeli dolar sehingga menimbulkan lebih banyak tekanan terhadap rupiah dan memperburuk situasi utang yang dimiliki oleh para perusahaan. Dapat dipastikan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia (termasuk bank-bank, beberapa di antaranya diketahui sangat lemah sekali) akan menderita kerugian yang amat besar. Persediaan devisa menjadi langka karena pinjaman-pinjaman baru untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia tidak diberikan oleh kreditur asing. Karena tidak mampu mengatasi krisis ini maka pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) pada bulan Oktober 1997.

Pemerintah, yang sebelumnya mencoba mempertahankan sistem kurs mengambang terkendali, akhirnya menyerah pada tekanan pasar dan membiarkan rupiah terapung bebas. Dana Moneter Internasional (IMF) pun turun tangan dengan paket bantuan, namun langkah-langkah reformasi yang disyaratkan IMF, seperti pencabutan subsidi dan restrukturisasi bank, justru memperburuk penderitaan masyarakat dalam jangka pendek. Ketimpangan sosial semakin terasa, pengangguran meningkat drastis, dan kerusuhan sosial merebak di berbagai daerah.

Krisis ini mencapai puncaknya ketika rakyat turun ke jalan menuntut perubahan. Mahasiswa menggelar demonstrasi besar-besaran di berbagai kota, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pada Mei 1998, setelah kerusuhan besar di Jakarta yang menewaskan ratusan orang dan menyebabkan eksodus warga keturunan Tionghoa, Soeharto akhirnya mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Krismon 1998 bukan hanya soal kehancuran nilai tukar atau kebangkrutan perusahaan; ia menjadi titik balik dalam sejarah bangsa. Dari peristiwa tersebut lahir era reformasi, dengan semangat untuk membangun sistem politik dan ekonomi yang lebih transparan, demokratis, dan berkeadilan.

Namun, warisan krisis itu masih terasa hingga kini. Ketergantungan pada utang luar negeri, kerentanan terhadap gejolak eksternal, dan tantangan dalam membangun sistem ekonomi yang inklusif masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Krismon 1998 mengajarkan bahwa kestabilan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas pertumbuhan semu, tetapi harus ditopang oleh struktur yang kuat, pengawasan yang baik, serta kepercayaan rakyat terhadap institusi negaranya. Momentum pahit tersebut sekaligus menjadi pelajaran penting bahwa krisis bisa datang kapan saja, dan kesiapsiagaan adalah kunci dalam menghadapi badai berikutnya.


Sumber :

https://www.tempo.co/ekonomi/menengok-krisis-moneter-asia-1997-asal-usul-penyebab-dan-dampaknya-43930

https://finance.binus.ac.id/2022/12/krisis-moneter-1997-di-indonesia-lecturenotes/

https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246

https://rri.co.id/keuangan/703344/apa-itu-krisis-moneter-pemicu-reformasi-98

Smoot-Hawley Tariff Act tahun 1930

The Smoot-Hawley: Tarif Act Revisited — Ketika Proteksionisme Memicu Krisis Global

Dalam catatan sejarah ekonomi dunia, sedikit kebijakan yang begitu banyak dipelajari — dan dikritisi — seperti Smoot-Hawley Tariff Act tahun 1930. Disahkan oleh Kongres Amerika Serikat pada masa awal Great Depression, undang-undang ini dikenang sebagai salah satu tindakan proteksionis paling kontroversial dalam sejarah perdagangan global. Revisi ulang terhadap kebijakan ini, dalam konteks masa kini, menjadi penting sebagai refleksi atas bagaimana keputusan ekonomi dalam suasana krisis bisa berdampak jauh melebihi batas negara yang membuatnya.

Smoot-Hawley Tariff Act dirancang oleh dua anggota Kongres, Senator Reed Smoot dan Perwakilan Willis C. Hawley. Tujuan awalnya tampak sederhana: melindungi para petani dan industri dalam negeri dari tekanan produk impor yang murah, khususnya dari Eropa. Namun, kenyataannya, ketika undang-undang ini mulai berlaku, lebih dari 20.000 jenis barang impor dikenakan tarif tinggi, sehingga membuat produk luar negeri menjadi jauh lebih mahal di pasar AS.

Namun harapan agar proteksi tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi domestik justru berbalik arah. Negara-negara lain — termasuk Kanada, Inggris, dan negara-negara Eropa — membalas dengan kebijakan tarif serupa, menciptakan efek domino dalam bentuk perang dagang global. Perdagangan internasional menurun drastis. Ekspor AS anjlok lebih dari 60% antara 1929 hingga 1933, memperburuk gelombang pengangguran dan memperdalam depresi ekonomi yang sudah terjadi.

Smoot-Hawley menjadi pelajaran mahal. Alih-alih mendorong pemulihan, proteksionisme berlebihan justru mempersempit pasar global dan menghalangi pemulihan ekonomi lintas negara. Banyak ekonom modern menyebut undang-undang ini sebagai pemicu utama dari "global trade contraction" atau penyempitan ekonomi dunia di awal 1930-an. Bahkan, tokoh seperti ekonom John Maynard Keynes pun turut menyindir pendekatan ini sebagai "bunuh diri ekonomi kolektif".

Mengapa Smoot-Hawley masih relevan dibahas hari ini? Karena sejarah cenderung berulang, meski dalam bentuk yang berbeda. Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang kebijakan proteksionis — dari perang dagang AS-China, penyesuaian tarif bilateral, hingga semangat “economic nationalism” — kembali muncul di berbagai belahan dunia. Dalam dunia yang saling terhubung, tindakan sepihak seperti tarif tinggi berisiko mengganggu rantai pasok global dan stabilitas pasar internasional.

Revisi terhadap Smoot-Hawley, bukan dalam arti hukum, melainkan sebagai evaluasi kritis atas semangat yang melatarbelakanginya, perlu terus digaungkan. Dunia hari ini menghadapi tantangan global yang serupa — krisis ekonomi, perlambatan pertumbuhan, ketimpangan distribusi ekonomi — tetapi jawaban terhadap persoalan itu tidak selalu melalui tembok tarif yang lebih tinggi. Justru sebaliknya, kerja sama multilateral dan integrasi pasar bisa menjadi penyeimbang yang lebih sehat dalam menjaga stabilitas ekonomi global.

Pada akhirnya, Smoot-Hawley bukan hanya cerita tentang tarif, tapi juga tentang bagaimana satu kebijakan domestik bisa berdampak pada ekonomi dunia. Ini menjadi pengingat penting bahwa jalan menuju pemulihan ekonomi tidak pernah bisa berjalan sendiri. Dunia, suka atau tidak suka, saling bergantung satu sama lain.

Friday, April 11, 2025

Krisis 1970 : Ketika Ekonomi Tumbuh Lambat Tapi Harga Melambung Tinggi

Bayangkan sebuah dunia di mana harga barang melonjak drastis, pengangguran merajalela, dan ekonomi tak kunjung tumbuh—itulah kenyataan pahit yang dihadapi dunia pada tahun 1970-an. Krisis stagflasi mengguncang keyakinan pada teori ekonomi yang selama ini diandalkan, memaksa negara-negara besar untuk berpikir ulang tentang masa depan energi, kebijakan moneter, dan daya tahan ekonomi. Apa sebenarnya yang memicu badai ekonomi ini, dan bagaimana dampaknya membentuk ulang tatanan ekonomi global? Temukan jawabannya dalam kisah kelam krisis ekonomi 1970 yang tak hanya mengubah angka-angka, tetapi juga arah sejarah.

Krisis ekonomi tahun 1970, yang lebih dikenal sebagai "Krisis Stagflasi," merupakan periode penuh gejolak yang menandai perubahan besar dalam lanskap ekonomi global. 

Stagflasi adalah periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Ketika istilah ini muncul, publik akan kembali ingat akan sejarah stagflasi yang menghantam di era 1970-an.

Stagflasi merupakan kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguaran yang tinggi di waktu bersamaan dalam periode tertentu. Kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga barang pokok atau inflasi.

Stagflasi ekonomi pada tahun 1970-an dipicu oleh disrupsi mendadak pada rantai pasokan. Harga material mentah tiba tiba naik yang berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Berbeda dari krisis sebelumnya yang biasanya melibatkan resesi dengan inflasi rendah, krisis pada dekade ini ditandai dengan kombinasi tak lazim antara inflasi tinggi, pengangguran tinggi, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan—sebuah fenomena yang oleh para ekonom disebut sebagai "stagflasi". Krisis ini bermula dari guncangan harga minyak dunia yang dipicu oleh embargo minyak yang dilakukan oleh negara-negara anggota OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) pada tahun 1973 sebagai respons terhadap dukungan Barat terhadap Israel dalam Perang Yom Kippur. Harga minyak melonjak drastis, menciptakan lonjakan biaya produksi yang menyebar ke seluruh sektor industri dan berdampak langsung pada harga-harga barang konsumsi.

Negara-negara industri, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat, terpukul hebat oleh kenaikan harga energi ini. Kenaikan harga minyak tidak hanya menyebabkan biaya produksi melonjak, tetapi juga menggerus daya beli masyarakat secara signifikan. Upah riil stagnan sementara harga barang meroket, membuat kelas menengah mengalami tekanan ekonomi yang hebat. Dalam situasi normal, bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, atau menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan. Namun dalam situasi stagflasi, langkah apa pun terasa serba salah—menaikkan suku bunga bisa membuat pengangguran meningkat, sementara menurunkannya bisa memperburuk inflasi. Ini membuat para pembuat kebijakan menghadapi dilema besar yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Dampak krisis ini juga meluas ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketergantungan pada impor minyak serta lemahnya diversifikasi ekonomi membuat negara-negara berkembang mengalami tekanan inflasi dan defisit neraca perdagangan. 

Periode 1970-an kerap disebut sebagai era emas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berkat pendapatan melimpah dari minyak, Indonesia bisa mendanai pembangunannya. Defisit anggaran seperti pada periode-periode sebelumnya bukan lagi masalah. Namun, perjalanan ekonomi Indonesia saat itu juga tidak mudah.

Krisis ini mendorong banyak negara untuk mulai mempertimbangkan kebijakan substitusi impor dan mendorong pengembangan energi alternatif serta efisiensi energi. Krisis tahun 1970-an juga menjadi momen penting lahirnya berbagai pemikiran baru dalam kebijakan ekonomi. Dominasi ekonomi Keynesian yang sebelumnya berjaya mulai dipertanyakan, dan muncul aliran pemikiran ekonomi baru seperti Monetarisme yang dipopulerkan oleh Milton Friedman, yang menekankan pentingnya pengendalian jumlah uang beredar sebagai cara untuk menekan inflasi.

Tanda-tanda ancaman resesi global semakin terlihat. Kondisi krisis ekonomi yang dialami dunia saat ini lebih mirip resesi 1970 ketimbang krisis 1998 dan 2008.

Pemerintah harus pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi krisis. Misalnya dengan menjaga stabilitas stok pangan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor beberapa komoditas yang rawan terimbas melemahnya kurs. Stok pangan yang dimaksud ialah gula, garam, daging sapi, gandum, dan bawang putih.

Secara global, krisis ekonomi 1970-an memperlihatkan betapa rapuhnya sistem ekonomi dunia terhadap guncangan eksternal seperti harga komoditas. Peristiwa ini menjadi pengingat kuat bahwa ketergantungan yang tinggi terhadap sumber daya tertentu—seperti minyak—bisa menjadi titik lemah sistem ekonomi jika tidak diimbangi dengan strategi ketahanan dan diversifikasi. Dalam jangka panjang, krisis ini mendorong banyak negara untuk memikirkan kembali struktur energi dan ekonominya, serta mulai membuka jalan bagi transformasi global menuju sistem ekonomi yang lebih tangguh, fleksibel, dan berorientasi pada keberlanjutan.

Perekonomian Amerika Serikat (AS) berisiko menuju stagflasi, atau periode yang ditandai dengan pertumbuhan rendah dan inflasi tinggi yang terus-menerus. JP Morgan mencatat AS sedang menuju ke arah stagflasi pada 1970-an. Kekhawatiran terhadap stagflasi telah meningkat, berbeda dengan banyak perkiraan optimis sebelumnya yang mengantisipasi penurunan inflasi dan pertumbuhan yang kuat.


Sumber :

https://www.cnbcindonesia.com/news/20221005063732-4-377260/intip-kengerian-stagflasi-1970-an-bisa-terulang-tahun-ini

https://tirto.id/indonesia-1970an-kaya-minyak-tapi-nyaris-pailit-karena-pertamina-f5qX

https://www.tempo.co/ekonomi/ekonom-resesi-global-2023-lebih-mirip-krisis-1970-ketimbang-1998-278003

https://artikel.pajakku.com/apa-itu-stagflasi/

https://www.metrotvnews.com/read/KYVCD6EP-jp-morgan-prediksi-ekonomi-as-menuju-stagflasi

Wednesday, April 9, 2025

Krisis Ekonomi 1939 : Dari Depresi Besar Menuju Perang

Bayangkan dunia yang baru saja bangkit dari keterpurukan ekonomi terdalam dalam sejarahnya, namun sebelum sempat menarik napas lega, terseret kembali ke dalam kekacauan yang lebih besar—perang global. Tahun 1939 bukan hanya awal dari Perang Dunia II, tapi juga bab kelam lanjutan dari krisis ekonomi yang tak kunjung reda. Ketika ekonomi belum sepenuhnya pulih, dunia justru memilih jalan peperangan. Mengapa krisis ini tak mampu diredam? Apa yang mendorong negara-negara beralih dari pemulihan menuju konfrontasi? Artikel ini akan membawa Anda menyusuri pusaran krisis 1939 yang menjadi jembatan antara kehancuran ekonomi dan ledakan konflik berskala dunia.

Tahun 1939 menjadi salah satu titik penting dalam sejarah ekonomi dunia. Meskipun kerap dilihat sebagai tahun awal pecahnya Perang Dunia II, krisis ekonomi yang melatarbelakangi periode ini tidak bisa diabaikan. Dunia saat itu belum sepenuhnya pulih dari dampak Depresi Besar (The Great Depression) yang mengguncang pasar global sejak tahun 1929. Banyak negara masih terseok-seok membangun kembali kepercayaan terhadap sistem keuangan dan pasar internasional. Krisis tahun 1939 bukanlah krisis keuangan yang tiba-tiba meledak seperti krisis 1929, melainkan lebih merupakan kelanjutan dari gejolak ekonomi yang berkepanjangan, diperparah oleh ketegangan politik dan militer yang makin meningkat di Eropa dan Asia.

The Great Depression atau Depresi Hebat adalah peristiwa krisis ekonomi yang melanda dunia antara 1929 hingga 1939. The Great Depression atau juga disebut krisis malaise, bermula di Amerika Serikat kemudian menyebar ke berbagai negara. Kemerosotan ekonomi dunia saat itu yang berlangsung sekitar satu dekade, disebut-sebut sebagai krisis moneter terparah dalam sejarah. Peristiwa ini mengakibatkan lumpuhnya sendi ekonomi yang menyerang hampir semua negara di dunia.

Amerika Serikat, sebagai episentrum krisis 1929, telah mulai pulih secara perlahan melalui kebijakan "New Deal" dari Presiden Franklin D. Roosevelt. Namun, pemulihan ini belum sepenuhnya mengembalikan pertumbuhan ekonomi ke tingkat sebelum depresi. Banyak sektor industri masih berjalan lambat, pengangguran tetap tinggi, dan daya beli masyarakat belum pulih. Di sisi lain, negara-negara Eropa seperti Jerman dan Italia mengambil jalur yang berbeda. Mereka memilih jalan otoriter dan nasionalistik, memobilisasi ekonomi mereka untuk tujuan militer dan ekspansi wilayah. Adolf Hitler, yang berkuasa di Jerman sejak 1933, memanfaatkan kekacauan ekonomi pasca-Perang Dunia I dan krisis 1930-an untuk memperkuat posisi politiknya, dan membangun kembali kekuatan industri Jerman dengan fokus pada militerisasi dan otarki ekonomi.

Inggris dan Prancis, dua kekuatan besar Eropa lainnya, menghadapi dilema antara memulihkan ekonomi mereka dan menghadapi ancaman ekspansi Nazi Jerman. Anggaran negara banyak dialihkan untuk persiapan militer, sementara pertumbuhan ekonomi belum stabil. Negara-negara koloni, termasuk Indonesia di bawah penjajahan Belanda, juga merasakan imbasnya. Permintaan global terhadap komoditas menurun, harga bahan mentah tetap rendah, dan peluang perdagangan internasional semakin sempit. Krisis ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sosial dan politik, karena banyak masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola perekonomian dan menjamin stabilitas.

Krisis ekonomi tahun 1939 kemudian berubah arah dengan pecahnya Perang Dunia II pada bulan September, ketika Jerman menyerang Polandia dan memicu pernyataan perang dari Inggris dan Prancis. Perang itu sendiri membawa dinamika baru dalam perekonomian global. Negara-negara besar mulai beralih ke ekonomi perang (war economy), dengan peningkatan produksi senjata, kendaraan tempur, dan logistik militer. Ironisnya, bagi beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, mobilisasi besar-besaran untuk perang justru menjadi momentum kebangkitan industri dan penurunan angka pengangguran. Namun bagi dunia secara keseluruhan, 1939 tetap tercatat sebagai tahun yang memperpanjang luka akibat depresi, dan menjadi awal dari konflik paling berdarah dalam sejarah umat manusia.

Perang Dunia II mengubah haluan politik dan struktur sosial dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didirikan untuk memperkuat kerja sama internasional dan mencegah konflik-konflik yang akan datang. Para kekuatan besar yang merupakan pemenang perang—Amerika Serikat, Uni Soviet, Tiongkok, Britania Raya, dan Prancis—menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.[1] Uni Soviet dan Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan super yang saling bersaing dan mendirikan panggung Perang Dingin yang kelak bertahan selama 46 tahun selanjutnya. Sementara itu, pengaruh kekuatan-kekuatan besar Eropa mulai melemah, dan dekolonisasi Asia dan Afrika dimulai. Kebanyakan negara yang industrinya terkena dampak buruk mulai menjalani pemulihan ekonomi. Integrasi politik, khususnya di Eropa, muncul sebagai upaya untuk menstabilkan hubungan pascaperang.

Krisis ekonomi 1939 memberi pelajaran penting tentang keterkaitan antara kondisi keuangan, kebijakan politik, dan stabilitas global. Ia menunjukkan bahwa krisis tidak selalu datang dalam bentuk keruntuhan pasar saham atau kebangkrutan massal, melainkan bisa hadir sebagai krisis kepercayaan, krisis distribusi sumber daya, dan krisis kepemimpinan. Dunia yang belum pulih dari luka ekonomi dibiarkan terjerumus dalam konflik bersenjata, yang kemudian membawa kerusakan jauh lebih besar—baik secara ekonomi, maupun secara kemanusiaan.


Sumber :

https://www.kompas.com/stori/read/2023/03/08/200000079/the-great-depression-krisis-ekonomi-terparah-dalam-sejarah

https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_II

Tuesday, April 8, 2025

Krisis Ekonomi Global 1914 : Ketika Peluru Menghantam Pasar Dunia

Bayangkan sebuah dunia yang selama puluhan tahun menikmati stabilitas ekonomi, perdagangan lintas benua, dan sistem keuangan yang mapan—semua berubah hanya dalam hitungan minggu. Tahun 1914 bukan hanya menjadi awal Perang Dunia I, tetapi juga menandai runtuhnya tatanan ekonomi global yang selama ini dianggap tak tergoyahkan. Saat peluru pertama ditembakkan di Sarajevo, bukan hanya nyawa yang dipertaruhkan, tapi juga kepercayaan dunia terhadap sistem keuangan internasional. Apa yang terjadi selanjutnya bukan sekadar perang, melainkan awal dari krisis ekonomi global yang mengguncang fondasi kapitalisme modern.

Krisis Ekonomi Global 1914 yang paling dikenal adalah "Krisis Juli" yang merupakan serangkaian eskalasi diplomatik dan militer di Eropa yang menyebabkan pecahnya Perang Dunia I, bukan krisis ekonomi itu sendiri. 

Sepanjang sejarah perekonomian, malaise merupakan krisis ekonomi dunia yang memuncak pada tahun 1929 sebagai dampak dari Perang Dunia I (1914-1918). Hancurnya tatanan ekonomi dunia berdampak langsung terhadap Hindia Belanda, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Fenomena ini berpengaruh pada organisasi-oerganisasi Pergerakan Nasional dalam melawan penguasa. Artikel ini menggunakan metode historis melalui penelahan bubu-buku yang dilakukan secara bertahap. Dari pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi hingga historiografi. Terjadinya malaise dilatar belakangi oleh Perang  Dunia I. Banyak negara menjadi miskin, lenyapnya daerah-daerah pemasaran, daya beli lemah, kelebihan produksi, dan pengangguran bertambah. Sejalan dengan peristiwa sejarah tentang inflansi ini mulailah krisis ekonomi melanda dunia. Di Indonesia, Fenomena ini dijadikan peluang oleh organisasi Pergerakan Nasional untuk menghimpun kaum buruh melakukan  aksi-aksi politik sebagai bentuk perlawananan terhadap Pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan Indonesia merdeka.

Krisis ekonomi global tahun 1914 merupakan peristiwa besar yang menandai keruntuhan sistem keuangan internasional yang sebelumnya stabil, dan menjadi bagian dari dampak awal pecahnya Perang Dunia I. Meskipun pada permukaan banyak orang melihat tahun 1914 sebagai awal dari konflik militer besar-besaran, di balik layar, dunia juga menyaksikan guncangan besar dalam sistem ekonomi dan perbankan internasional. Sebelum perang pecah, dunia telah menikmati masa stabilitas ekonomi panjang selama era Pax Britannica, di mana perdagangan internasional berkembang pesat, didukung oleh sistem standar emas yang memungkinkan nilai mata uang berbagai negara terikat pada cadangan emas, menciptakan kepercayaan lintas batas.

Namun, semua itu berubah drastis ketika perang meletus pada bulan Juli 1914. Ketegangan politik yang selama ini membara di Eropa akhirnya meledak setelah pembunuhan Archduke Franz Ferdinand dari Austria, yang menjadi katalis pecahnya perang antar negara-negara besar. Dalam hitungan minggu, negara-negara Eropa mulai memobilisasi militer dan menyatakan perang satu sama lain. Situasi ini segera menciptakan kepanikan besar di pasar keuangan global. Bursa saham utama di Eropa dan Amerika Serikat ditutup secara tiba-tiba demi mencegah kejatuhan pasar. Lonjakan permintaan uang tunai oleh para investor dan deposan membuat sistem perbankan terguncang. Banyak bank tidak memiliki likuiditas cukup karena sebagian besar aset mereka berupa surat berharga dan obligasi jangka panjang, sementara para deposan menuntut penarikan uang secara massal.

Negara-negara seperti Inggris, Jerman, Prancis, dan Amerika Serikat segera menangguhkan penggunaan standar emas untuk menyelamatkan cadangan emas nasional mereka dari pelarian modal ke luar negeri. Langkah ini menandai berakhirnya era stabilitas moneter internasional yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Penangguhan konversi mata uang ke emas menyebabkan ketidakpastian nilai tukar dan mengguncang kepercayaan pelaku perdagangan internasional. Perdagangan global pun melambat drastis karena pengiriman barang terganggu oleh blokade laut, ancaman kapal selam, dan disorganisasi logistik akibat mobilisasi militer.

Selain itu, pengeluaran militer dalam jumlah masif yang dikeluarkan oleh negara-negara yang terlibat perang menciptakan beban fiskal luar biasa. Pemerintah mulai menerbitkan utang dalam jumlah besar, memicu inflasi dan memaksa perubahan drastis dalam alokasi sumber daya ekonomi. Banyak industri sipil dialihkan untuk mendukung produksi senjata dan perlengkapan perang, sementara sektor konsumsi mengalami kelangkaan dan penurunan produksi. Hal ini menciptakan tekanan pada harga barang dan menurunkan kesejahteraan masyarakat sipil.

Krisis ekonomi 1914 bukan hanya sebuah kejatuhan pasar atau krisis moneter biasa, melainkan titik balik dalam sejarah ekonomi global. Ia menandai pergeseran dari sistem ekonomi liberal yang terbuka ke arah ekonomi yang lebih tertutup dan dikendalikan negara. Banyak negara menerapkan kontrol modal, kebijakan proteksionis, dan pengaturan ekonomi ketat untuk menghadapi krisis. Perang telah memaksa negara-negara memprioritaskan stabilitas nasional atas keterbukaan global, dan dampaknya terasa dalam dekade-dekade berikutnya, termasuk munculnya depresi besar di tahun 1930-an.

Dengan demikian, krisis ekonomi global tahun 1914 menjadi contoh klasik bagaimana konflik geopolitik dapat menjungkirbalikkan sistem ekonomi global yang selama ini dianggap stabil. Ia memperlihatkan bahwa pasar tidak kebal terhadap guncangan politik, dan bahwa keseimbangan ekonomi dunia bisa runtuh dalam waktu singkat ketika kepercayaan terhadap sistem terganggu. Lebih jauh lagi, krisis ini menjadi awal dari transformasi besar dalam peran negara dalam perekonomian, yang kemudian menjadi karakteristik dominan dalam abad ke-20.


Sumber :

https://ejurnalunsam.id/index.php/jsnbl/article/view/522#:~:text=Terjadinya%20malaise%20dilatar%20belakangi%20oleh,mulailah%20krisis%20ekonomi%20melanda%20dunia.

Sunday, April 6, 2025

Krisis Ekonomi 1861: Ketika Perang Saudara Mengguncang Dunia

“Bayangkan sebuah dunia yang porak-poranda hanya karena satu komoditas terhenti: kapas. Tahun 1861 bukan hanya awal dari Perang Saudara Amerika—ini adalah momen ketika perekonomian global nyaris runtuh karena ketergantungan pada satu sumber daya.”

“Apa jadinya jika sebuah perang lokal menghentikan ratusan pabrik di Eropa, menciptakan pengangguran massal, dan mengubah sistem keuangan Amerika? Inilah krisis ekonomi global pertama akibat konflik dalam negeri.”

Tahun 1861 menandai awal dari salah satu konflik domestik paling berdarah dalam sejarah Amerika Serikat, yaitu Perang Saudara (American Civil War). Namun di balik medan pertempuran, terjadi pula gejolak ekonomi yang sangat besar, tidak hanya mengguncang ekonomi Amerika Serikat, tetapi juga memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian global, terutama Eropa. Krisis ekonomi ini tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan akumulasi dari ketegangan sosial, politik, dan ekonomi yang telah berlangsung lama antara negara-negara bagian utara (Union) dan selatan (Confederacy). Perbedaan tajam dalam model ekonomi menjadi pemicu utama: Utara berkembang sebagai wilayah industri dan perdagangan bebas, sementara Selatan menggantungkan diri pada pertanian, terutama industri kapas yang sangat bergantung pada tenaga kerja budak.

Ketika Abraham Lincoln dilantik sebagai presiden pada Maret 1861 dan menunjukkan sikap tegas terhadap perluasan perbudakan, tujuh negara bagian selatan segera memisahkan diri dan membentuk Konfederasi. Pemisahan ini memicu perang yang berlangsung hingga tahun 1865. Secara ekonomi, konflik ini segera menunjukkan dampaknya. Salah satu yang paling mencolok adalah terganggunya produksi dan distribusi kapas dari Selatan ke pasar internasional. Kapas saat itu merupakan komoditas vital bagi industri tekstil di Eropa, khususnya Inggris dan Perancis. Terhentinya ekspor kapas dari Amerika Selatan menyebabkan kekurangan bahan baku, yang kemudian memicu krisis kapas atau yang dikenal sebagai The Cotton Famine di Inggris. Ribuan pabrik tekstil terpaksa menutup atau mengurangi jam kerja, menyebabkan pengangguran massal di kawasan industri seperti Manchester dan Lancashire.

Di dalam negeri Amerika Serikat sendiri, ekonomi mengalami tekanan berat. Infrastruktur transportasi rusak karena perang, sistem keuangan terganggu, dan pemerintah Union maupun Confederacy harus mencetak uang dalam jumlah besar untuk membiayai operasi militer. Inflasi pun meroket, terutama di wilayah selatan yang sangat bergantung pada pertanian. Harga kebutuhan pokok melonjak tajam, dan nilai uang kertas turun drastis. Bank-bank di beberapa negara bagian tutup, dan utang pemerintah meningkat tajam. Di sisi lain, sektor industri di wilayah utara berusaha beradaptasi dengan meningkatkan produksi senjata dan perlengkapan militer, tetapi tekanan fiskal dan biaya perang tetap menghantui stabilitas ekonomi nasional.

Untuk membiayai perang, pemerintah Union (atau Utara) mencetak uang kertas yang tidak sepenuhnya didukung cadangan emas, yang disebut sebagai Greenbacks.

Hal ini menurunkan kepercayaan terhadap mata uang kertas, dan masyarakat serta investor mulai melarikan aset mereka ke emas sebagai bentuk perlindungan nilai (atau safe haven).

Ketidakpastian geopolitik dan kekhawatiran terhadap inflasi membuat permintaan emas melonjak. Emas dipandang lebih stabil dan aman dibandingkan mata uang kertas yang nilainya terus merosot akibat inflasi dan defisit anggaran perang.

Kenaikan harga emas ini tidak hanya dirasakan di Amerika Serikat, tetapi juga berdampak ke pasar dunia karena Amerika adalah produsen dan pengguna emas yang signifikan. Ketidakpastian politik di Amerika Serikat menciptakan efek domino pada perdagangan dan pasar global, mendorong nilai emas ke atas.

Krisis ekonomi 1861 juga memperlihatkan bagaimana konflik bersenjata bisa memicu transformasi struktural dalam sistem ekonomi suatu negara. Perang Saudara Amerika mempercepat industrialisasi di Utara, memperkuat peran pemerintah federal dalam mengatur perekonomian, dan akhirnya menjadi titik awal dari pembentukan sistem keuangan modern di Amerika. Namun, semua itu dibayar dengan harga sangat mahal: kehancuran ekonomi di Selatan, kerusakan infrastruktur, dan ketidakpastian sosial yang berlangsung hingga beberapa dekade setelah perang berakhir.

Secara global, krisis ini menjadi pelajaran penting bahwa keterhubungan antar negara dalam rantai pasok komoditas strategis seperti kapas dapat menjadi sumber kerentanan ekonomi yang besar. Ketika satu titik dalam rantai itu terganggu oleh konflik atau bencana, dampaknya bisa menjalar luas dan menyebabkan efek domino. Krisis ekonomi 1861, meski dipicu oleh konflik internal satu negara, mampu mengguncang pasar tenaga kerja dan industri di benua lain. Ini menjadi bukti awal dari globalisasi ekonomi yang telah mulai terbentuk sejak abad ke-19.

Perang Saudara Amerika pada tahun 1861 adalah pemicu utama kenaikan harga emas, karena menciptakan ketidakstabilan ekonomi, inflasi, dan penurunan kepercayaan terhadap mata uang kertas, yang semuanya membuat emas menjadi aset perlindungan yang diminati.

Related Posts