Masalah di Balik Platform Urun Dana Populer.
Santara, platform urun dana berbasis ekuitas (atau equity crowdfunding) yang digagas oleh Mardigu Wowiek, pernah dianggap sebagai salah satu jalan inovatif untuk membantu UMKM mendapatkan modal dari masyarakat.
Ketika kamu sebagai pemodal membeli saham di Santara, kamu tidak hanya menanamkan modal, tetapi juga bisa memiliki sebagian bisnis tersebut: ikut menikmati dividen hasil usaha tanpa harus terlibat aktif dalam operasional.
Model bisnis Santara fokus pada mendanai UKM yang sudah berjalan. Saat sebuah UKM terdaftar sebagai Penerbit di Santara, platform ini melakukan seleksi bisnis terlebih dahulu — mengevaluasi model bisnis, valuasi, kredibilitas, hingga potensi pertumbuhan — agar hanya bisnis yang cukup layak yang bisa mendapatkan pendanaan.
Namun, belakangan platform ini menghadapi sejumlah tantangan serius yang mempertanyakan integritas operasional dan perlindungan terhadap pemodal.
Salah satu masalah paling mencuat adalah sanksi dari Otoritas Jasa Keuangan (atau OJK). OJK telah memberikan Perintah Tindakan Tertentu (atau PTT) kepada Santara karena dugaan pelanggaran POJK Nomor 57 / POJK 04 / 2020 yang mengatur penawaran efek melalui platform urun dana.
Salah satu konsekuensi dari PTT tersebut adalah larangan bagi Santara untuk menambah penerbit baru (UKM yang menawarkan saham) sebelum semua efek penerbit yang sudah ada telah terdaftar di Kustodian Sentral Efek Indonesia (atau KSEI).
Regulasi ini jelas membatasi pertumbuhan platform dan menimbulkan kegelisahan di kalangan investor yang menanti peluang investasi baru.
Perlu dicatat, OJK menilai bahwa Santara perlu memperbaiki tata kelola (atau governance) terutama terkait keterbukaan informasi antara penerbit dan pemodal.
Regulasi SCF (atau Securities Crowdfunding) menurut pendiri Santara, Mardigu Wowiek, dianggap terlalu menuntut — terutama aturan bahwa penerbit harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (atau PT). Menurutnya, banyak UMKM yang justru tidak berbentuk PT, melainkan CV atau usaha perorangan, dan aturan itu memberatkan mereka untuk ikut pendanaan di platform.
Kasus ini menimbulkan keraguan tentang perlindungan pemodal. Sebagaimana diungkap OJK, platform harus menjamin keterbukaan informasi agar investor tahu dengan jelas risiko usaha UKM.
Ada juga kritik akademis mengenai aspek hukum equity crowdfunding di Santara: dalam jurnal akademis disebutkan bahwa perlindungan hukum pemodal masih lemah, dan ada potensi risiko kegagalan usaha, penipuan, atau pencucian uang.
Dari sisi komunitas investor, ada keluhan serius soal laporan keuangan penerbit. Beberapa investor menyatakan bahwa prospektus tidak sesuai dengan realita: dalam kasus satu perusahaan penerbit (dalam penelitian akademis) diklaim zero risk dan return tinggi, tetapi setelah pendanaan, laporan keuangannya sulit diakses, dan transparansi sangat rendah.
Ada juga yang menyebut bahwa pasar sekunder Santara sangat tidak likuid — sehingga menjual saham terpakai sangat sulit — dan laporan keuangan perusahaan penerbit tidak profesional karena tidak diaudit dengan standar tinggi.
Semua masalah ini berdampak pada kepercayaan publik terhadap crowdfunding ekuitas di Indonesia. Dalam artikel diskusi tentang industri crowdfunding, Sindonews menyebut bahwa isu Santara menjadi salah satu pemicu menurunnya minat masyarakat karena khawatir terhadap transparansi dan keamanan investasi.
Secara historis, Santara memang memiliki izin resmi dari OJK sejak 2019, dan menjadi platform equity crowdfunding pertama mendapatkan izin penuh.
Namun, legalitas saja tidak cukup menjamin kepercayaan jika operasional dan tata kelola internal tidak dikelola dengan disiplin.
Ada risiko bahwa penerbit bisnis UKM mengalami kesulitan operasional, pertumbuhan tidak sesuai harapan, atau bahkan rugi — dan itu bisa berdampak langsung pada dividen yang didapat pemodal. Selain itu, likuiditas di platform equity crowdfunding umumnya jauh lebih rendah ketimbang bursa saham konvensional, sehingga menjual kembali saham yang dimiliki bisa tidak mudah.
Sisi regulasi juga membawa tantangan. Meskipun Santara sudah berizin OJK, beberapa riset akademis menunjukkan bahwa perlindungan hukum dalam bentuk sanksi berat untuk pelanggaran masih terbatas. Sebuah kajian hukum menyebut bahwa peraturan OJK bersifat umum dan belum memberikan penalti pidana yang kuat jika terjadi manipulasi data atau penyalahgunaan dana.
Hal ini menjadi perhatian karena pemodal Equity Crowdfunding)menaruh kepercayaan besar pada platform untuk memilih penerbit bisnis yang matang, dan jika manajemen atau operasional penerbit tidak transparan, risiko kerugian bisa lebih tinggi.
Secara data, Santara telah mencatatkan pencapaian cukup signifikan. Menurut laporan, hingga beberapa tahun lalu Santara sudah menghimpun dana puluhan miliar rupiah dari pemodal untuk didistribusikan ke puluhan UKM.
Tentu, ada kritik dari para pengguna atau pemodal di ruang publik. Di forum investasi online misalnya, beberapa investor menyatakan kekhawatiran soal likuiditas pasar sekunder Santara.
Ada juga yang menyebut bahwa laporan bisnis penerbit kadang tidak setransparan seperti di bursa saham besar, sehingga pemodal perlu benar-benar membaca prospektus dan memahami risiko sebelum berinvestasi.
Tapi di balik kritik tersebut, peran Santara sebagai jembatan modal UKM tetap sangat strategis. Di Indonesia, banyak bisnis skala kecil-menengah yang sulit mendapat pinjaman bank atau akses ekuitas tradisional.
Masalah Santara, mulai dari sanksi OJK, tata kelola yang dipertanyakan, keterbatasan likuiditas, hingga transparansi laporan keuangan, menunjukkan bahwa platform urun dana bukanlah jalan bebas risiko. Bagi investor yang tertarik menggunakan Santara, penting untuk benar-benar memahami struktur usaha yang dibiayai, menelaah prospektus dengan seksama, dan realistis terhadap risiko UKM. Sementara itu, bagi regulator dan penyelenggara, kasus Santara menjadi pengingat: inovasi keuangan harus selalu diiringi dengan tata kelola yang kuat dan perlindungan investor yang konkret agar ekosistem crowdfunding bisa tumbuh sehat dan berkelanjutan.
.png)
No comments:
Post a Comment